Melayani Bukan Untuk Dilayani
By.Fernando
Tambunan
Nats: Markus 10:35-45
I.
PENGANTAR
Mari kita
bayangkan yang berikut ini satu persatu:
-
Seorang pelayan rumah makan bersikap tidak ramah terhadap anda
-
Pangurupi/pembantu ibu tdk ditempat, ketika ibu sedang
membutuhkannya
-
Pelayan toko cuek terhadap ibu
-
Ibu diminta oleh tukang sampah untuk membuang sampah sendiri
-
Ketika ibu merintih kesakitan, sementara pelayan kesehatan asyik
bercanda dengan temannya tanpa peduli dengan ibu
-
Kita sering mendengar dan melakukan apa itu melayani
-
Biasanya ini ditujukan kepada orang-orang yg lebih rendah
kedudukannya/derajatnya
-
Bandingkan dgn di persekutuan/gereja siapa yg disebut sebagai
pelayan
Menjadi pelayan bukanlah
pekerjaan yang disukai,pada dasarnya nature manusia tidak suka untuk menjadi
pelayan Plato berkata “Siapakah yang senang kalau harus melayani orang lain?”. Perkataan ini mengandung pengertian yang sangat dalam.
Rupanya Plato lebih jujur daripada kita. Sebab seringkali kita mau melayani
orang lain namun dalam prakteknya, kitalah yang ingin dilayani orang lain.
Tuhan Yesus berpesan agar kita saling melayani. Tiap
orang percaya adalah pelayan Tuhan. Begitulah kata melayani sering dipakai di gereja, persekutuan. Pekerjaan dll.
Tetapi apakah sebenarnya arti melayani? Tema
kita hari ini adalah : ”Melayani bukan untuk dilayani” sebuah motto yang
gampang untuk mengatakannya namun sering kali kita tidak suka melakukannya.
Mari kita baca : MARKUS 10:35-45
II.
PELAYANAN
A.
Makna Pelayanan dalam Alkitab
Secara etimologi, kata “pelayanan” memiliki makna yang
amat kompleks. Dalam Perjanjian Baru digunakan beberapa
istilah, yaitu:
1. doulos – melayani sebagai hamba (budak).
Pada zaman PB, seorang budak dapat dibeli atau dijual sebagai komoditi. Seorang
budak adalah seorang yang sama sekali tidak memiliki kepentingan diri sendiri.
Sebagai orang percaya, kita sekalian adalah orang-orang yang telah dimerdekakan
dari dosa dan menjadi hamba (doulos)
kebenaran (Roma 6:18), menjadi hamba Allah (Roma 6:22).
2. diakoneo – melayani sebagai pelayan dapur, yang menantikan perintah di sekitar meja
makan (Mat. 8:15; Efs. 4:12). Ini bukan pekerjaan yang menyenangkan, karena
seringkali ia akan menerima dampratan dari orang yang merasa kurang puas
dilayani. Dalam arti luas kata ini menyatakan seseorang yang memperhatikan
kebutuhan orang lain, kemudian berupaya untuk dapat menolong memenuhi kebutuhan
itu. Orang bisa saja bekerja sebagai budak (doulos)
dan tidak menolong seorangpun; tetapi jika ia seorang diakonos, ia berkaitan
erat dengan upaya menolong orang lain (Luk 22:27; Yoh. 12:26; Tim. 3:13) à kata diakonia, diaken
3.
leitourgeo – melayani orang lain
di depan publik atau bekerja untuk kepentingan rakyat (Kisah 13:2) sebagai
lawan untuk kepentingan pribadi. Orang yang berbuat itu disebut leitourgos dan pekerjaan luhur itu
disebut leitourgia. Dari sini timbul
kata liturgi untuk kata ibadah.
4.
latreuo – berarti bekerja
untuk mendapat latron, yaitu gaji
atau upah. Latreia berarti juga bisa pemujaan untuk para dewa. Di
perjanjian baru kata ini digunakan dalam arti menyembah atau beribadah pada
Tuhan (Mat. 4:10 ; Kis 7:7) Penggunaan yang lebih jelas digunakan Paulus dalam
Roma 12:1 yaitu supaya kita mempersembahkan tubuh kita kepada Tuhan sebagai logike latreia, artinya persembahan yang
pantas (berkenan).
Pelbagai
kata ini digunakan oleh gereja abad pertama dengan arti melayani, mengabdi atau
menghamba kepada Tuhan dan kepada orang lain, atau pola hidup yang bukan lagi
hidup untuk diri sendiri melainkan hidup untuk Tuhan dan untuk orang lain (bnd.
2 Kor 5:15).
Di
dalam hal perbudakan ada 3 istilah yg dipakai:
1.
Aqurazo: budak yg ditebus dr pasar budak tetapi
blm dibawa keluar (msh dalam pasar budak dan statusnya masih budak) à dlm dunia yg sama
2.
Ex-Aqurazo: budak yg ditebus dari pasar budak
dan dibawa keluar , tetapi masih bisa kembali ke pasar budak,
3.
Lutro: di tebus dari pasar budak di bawa pulang
dan dijadikan anak angkat
Bagaimana kita memahami pelayanan selama ini?
Kita
mungkin seringkali mengklaim diri sebagai orang yang sibuk dengan kegiatan
pelayanan. Namun pertanyaannya, apakah kita berlaku sebagai PELAYAN ? Tanpa
kita sadari, mungkin kita merasa lebih tinggi daripada yang kita layani.
Ironisnya, banyak dari kita yang semakin dalam memasuki areal pelayanan
gereja, semakin jauh dari perilaku seorang pelayan. Sebaliknya bergaya sebagai
“petinggi” gereja dengan segala kekuasaannya. Kenyataan ini yang seringkali
menyulitkan lahirnya pelayan-pelayan baru dalam gereja.
“aku lebih berhak ini dan itu daripada
kamu, karena aku sudah sekian puluh tahun melayani”. Rasanya tidak pantas
kalimat-kalimat itu dikatakan seorang “aktifis pelayanan”, namun toh ada
saja yang dengan bangga mengucapkannya. Jika diminta untuk melakukan sesuatu
yang kurang disukai, maka akan keluar jawaban “aku ini pelayan Tuhan, bukan
pelayan kamu” atau “suruh aja orang lain, aku sibuk. Atau situ aja yang
nganggur ”
B. Apa itu pelayanan sebenarnya?
Pelayanan adalah: “Respon
atas kasih karunia Allah yang telah
menyelamatkan manusia di dalam Yesus Kristus, dengan penyerahan diri
sebagai hamba Allah yang diwujudkan
melalui persembahan hidup yang kudus
dan benar, dedikasi diri
dalam memikul salib Kristus untuk menjalankan visi dan misi Allah dalam
menyelamatkan umat manusia”
1. Respon atas kasih
karunia Allah
Pelayanan merupakan respon
kasih karunia Allah yang telah
diberikan kepada manusia
dengan cuma-cuma. Respon yang secara otomatis muncul karena kesadaran bahwa kasih Allah itu telah diterima dalam keadaan unconditional. Pembenaran Allah dalam diri
kita sebagai orang yang berdosa itu terjadi karena ada penebusan oleh Tuhan Yesus Kristus. Roma 3:24; 5:2;
2 Kor. 6:1; Ef. 1:7; 2:8; 2 Tim 1:9.
Jadi pelayanan itu bukan
syarat masuk sorga, karena setiap orang yang sudah ada
di dalam Tuhan Yesus Kristus sudah dijamin masuk sorga terlebih dahulu! Pelayanan bukan syarat untuk masuk ke sorga, tetapi kita sudah ada jaminan masuk ke sorga. Karena harga yang begitu mahal, kita dapat masuk ke sorga, yakni dengan darah Kristus, maka pelayanan yang kita lakukan adalah respon atas
kasih Allah yang begitu besar.
2. Allah yang
menyelamatkan umat manusia di dalam Yesus Kristus
Pelayanan selalu dilihat dalam koridor keselamatan manusia, yang telah dikerjakan Allah di dalam Yesus Kristus. Pelayanan tidak mungkin dapat dilepaskan
dari konsep keselamatan manusia dalam Yesus Kristus. Manusia yang
telah jatuh ke dalam dosa
adalah manusia yang menuju kepada kebinasaan. Tidak ada cara apapun dalam diri manusia, sehingga dia dapat menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan murka Allah. Satu-satunya
jalan adalah dari pihak Allah yang menyatakan
diri- Nya untuk menyelamatkan umat manusia. Karya keselamatan manusia, sudah dikerjakan
oleh Allah melalui Tuhan Yesus Kristus.
Yes. 63:7-9; Mat. 1:21; 18:11; Luk. 19:10; Yoh. 3:16,17;
Roma 1:16; 1 Tim 1:15
3. Penyerahan diri sebagai hamba Allah
Pelayanan yang sesungguhnya merupakan pernyataan konkrit dari seseorang yang menyerahkan
dirinya sebagai hamba Allah. Karena dia telah mendapatkan kasih karunia dan keselamatan yang sejati, maka satu-satunya jalan
yang
dapat dilakukan adalah
penyerahan diri di hadapan Allah. Hizkia mengingatkan Israel untuk menyerahkan
diri kepada Tuhan dan datang
ke tempat kudus-Nya. 2 Taw.
30:8. Penyerahan diri kepada Allah karena kita telah
memperoleh hidup yang baru. Paulus
menyebutkan “Serahkanlah dirimu kepada Allah sebai orang-orang
yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata- senjata kebenaran”. Roma 6:12,13
4. Persembahan hidup yang kudus dan benar
Penyerahan diri dalam bentuk seluruh hidup kita. Bukan
dari apa yang kita punyai, baik itu harta kita, uang
kita, waktu kita, pemikiran kita, tenaga kita, dan sebagainya. Tetapi lebih dari pada itu, yakni seluruh hidup kita. Penyerahan diri yang sempurna adalah seluruh hidup kita yang kudus dan benar.
Seluruh eksistensi kita secara holistik, yaitu pola pikir
kita, latar belakang hidup kita, tujuan dan arah hidup
kita, cita-cita dan harapan-harapan yang
akan kita capai, semuanya harus kita
serahkan kepada Tuhan, yang artinya
kita percaya bahwa Tuhan telah mengatur hidup kita dengan sempurna. Dia bekerja dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Persembahan
yang hidup, yang kudus dan benar, karena Allah adalah Allah yang kudus dan
benar. Hidup kudus berarti ada di dalam dunia, tetapi
tidak sama dengan dunia. “Larut tidak hanyut atau hanyut tidak larut”. Kel.
19:5,6; Maz.34:9,10; Yes.
62:10-12; Roma 12:1,2; 1 Kor. 6:18,19; Ef. 5:1-13; 1Pet. 1:13-16.
5. Dedikasi diri dalam memikul salib Kristus
Pelayanan jika dimengerti sebagai penyerahan diri menjadi hamba Allah, maka didalamnya
mencakup dedikasi diri yang tinggi. Dedikasi
itu dinyatakan dalam bentuk pelayanan
seorang kepada yang lain, sesuai dengan karunia-karunia
yang
telah
diberikan oleh Allah. Orang yang melayani
harus
melakukan dengan kekuatan yang telah dianugerahkan Allah. Maka dedikasi
mencakup seluruh segi kehidupan
kita. Apa yang kita lakukan harus dengan
satu motivasi, yakni untuk kemuliaan Allah, yaitu selalu berusaha
dengan sekuat tenaga,
bahwa apa yang kita lakukan dapat diperkenan Allah. 1 Pet. 4:10; 5:10; Mat. 16:25; Mark. 8:35; Kis. 20:24
6. Menjalankan visi dan misi Allah dalam
menyelamatkan umat manusia
Pelayanan yang
dilakukan harus dalam visi dan misi Allah yang menyelamatkan semua umat
manusia. Pelayanan yang dilakukan tidak bisa terlepas
dari visi dan misi Allah.
Tujuan dan arah pelayanan adalah menuju pemenuhan visi dan misi Allah di dalam menyelamatkan
umat manusia dari kebinasaan. Mat.
9:35; 28:19,20; Kis. 1:8; 8:12; 1 Kor. 9:27; Ef. 6:14-20
C. PENJELASAN NATS
1. Berawal dari suatu
permintaan: memanfaatkan hubungan dengan Yesus.
Ada permintaan dari anak-anak Zebedeus,
yaitu Yakobus dan Yohanes kepada Yesus. Mereka mengatakan, “Guru, kami harap
supaya Engkau kiranya mengabulkan suatu permintaan kami!” (ay.35). Yesus tidak
menolak untuk mendengar permintaan itu dan menjawab dengan mengatakan “Apa yang
kamu kehendaki Aku perbuat bagimu?” (ay. 36). Jawab anak-anak Zebedeus, “Perkenankanlah
kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan
yang seorang di sebelah kiri-Mu” (ay. 37). Ternyata permintaan itu adalah agar
Yesus memperkenankan mereka duduk dalam kemuliaan. Segera kita akan bertanya,
apa dasar kedua murid untuk meminta duduk dalam kemuliaan Yesus. Kedua murid
memahami bahwa Yesus adalah Mesias. Dalam pertanyaan itu terkandung makna dan
kepercayaan kepada diri Yesus.
Hubungan mereka berdua kepada Yesus
terasa dalam pertanyaan itu. Kehadiran Yesus dalam kehidupan mereka berdua
membuka ruang pemberdayaan diri agar mereka duduk dalam pemerintahan Kristus.
Yohanes dan Yakobus menghendaki agar mereka kelak berkuasa dalam kemuliaanNya.
Ada keinginan, karena hubungan murid yang dekat dengan Yesus, untuk mendapatkan
kedudukan bahkan kekuasaan (baca: kemuliaan). Apakah permintaan itu salah? Mari
untuk tidak melihat soal salah atau benar, karena sekali lagi, ada pengaruh
yang dirasakan oleh kedua murid dengan kehadiran Yesus di tengah-tengah hidup
mereka. Dan tidak dapat dipungkiri, bahwa pertanyaan dan permohonan itu dilatar
belakangi dari pemahaman mereka bahwa Yesus adalah Mesias. Dalam pemahaman
orang Israel, Mesias akan membawa tidak hanya dalam kejayaan secara politis
untuk mengalahkan lawan-lawan bangsa Israel, tetapi juga untuk membawa bangsa
Israel masuk dalam kemuliaanNya di sorga.
Maka, permintaan kedua murid itu
wajar-wajar saja. Mereka memintanya dari latar belakang pemahaman, latar
belakang hubungan mereka kepada Yesus. Namun, kita harus katakan bahwa apakah
permintaannya yang wajar itu berangkat dari pengenalan mereka yang benar
sehingga mereka layak memintanya seperti itu?
Pengenalan yang melekat dalam diri Yesus
haruslah menjadi bagian yang tidak boleh dilupakan oleh siapapun. Pengenalan
itulah yang akan menentukan kita untuk meminta sesuatu secara benar dan layak.
Apakah duduk dalam kemuliaan Yesus hanya ditentukan oleh pemahaman bahwa Yesus
adalah Mesias? Seorang anak haruslah meminta kepada ayahnya apa yang patut
diberikan sesuai dengan kemampuan finansial dan perekonomian keluarga. Bukankah
seperti itu harusnya? Tetapi ada-ada saja anak yang tidak mampu mengenal dengan
benar kemampuan seorang ayah. Kesulitan untuk mengenal, itulah persoalannya.
Kemungkinan, ada beberapa hal yang membuat seseorang sulit untuk mengenal orang
lain atau sesuatu, yaitu:
pertama, adanya praduga tertentu yang
menghalangi mengenal seseorang dengan tepat. Hal itu biasanya disebabkan oleh
karena seringnya seseorang mengeneralisasi dan menganggap semua orang yang
secara fisik mirip maka mereka juga sama secara esensi. Kemiripan-kemiripan itu
menjadi dasar untuk mengenal sehingga semua yang mirip itu dianggap sama
esensinya.
Kedua, waktu pengenalan yang singkat. Waktu
yang singkat tidak dapat menjadikan seseorang dapat mengenal betul seseorang
atau sesuatu itu.
Dan yang ketiga, sifat yang menonjolkan keakuan, yang berpusat
kepada diri sendiri (egosentris), yang melihat dari sisi untung rugi. Apa
manfaatnya bagiku?, itulah yang sering dilontarkan. Bukankah hal demikian sering
terjadi sehingga mengarahkan seseorang untuk bersikap opportunis (melihat
kesempatan). Bila yang bersangkutan mempunyai kedudukan yang baik, pangkat yang
tinggi, uang dan harta yang banyak, maka itu dapat mengarahkan seseorang untuk
memakai kesempatan mengenal lebih dalam lagi. Pengenalannya hanya didasarkan
kepada, apakah ada untung-rugi kepada yang bersangkutan.
Saudara-saudara, apakah kita mengenal Yesus dengan benar?
Permohonan yang kita sampaikan kepadaNya akan menentukan seberapa dalam kita
mengenal Yesus, Tuhan kita. Jangan melihat Yesus secara fenomena, jangan hanya
melihat ‘cover’nya, tetapi lihat isinya.
2. Mau duduk dalam kemuliaan Tuhan?
Namun Yesus menangkis
permintaan mereka. Bayangan kedua murid itu mengenai Kerajaan itu sungguh
melenceng. Mereka tidak tahu apa yang mereka minta. Yesus tidak mempersalahkan
pandangan mereka mengenai Kerajaan itu. Sebab Kerajaan yang akan datang itu
juga datang ke bumi dan membuat segala sesuatu baru. Tetapi Kerajaan itu akan
datang melalui salib, melalui penderitaan penuh. Garis yang menghubungkan masa
kini dengan Kerajaan itu bukanlah satu garis lurus, yaitu hubungan yang paling
singkat di antara dua titik, melainkan garis yang penuh liku, suatu garis yang
membawa korban.
Dunia menganggap salib adalah bencana
dan kutuk. Salah! Bagi orang yang percaya, salib adalah kemenangan, penggenapan
dari seluruh rancangan karya keselamatan Allah. Salib menjadi benang merah
sejak PL dimana keturunan perempuan akan menghancurkan ular dengan tumitnya
(Kej. 3:15) dan korban-korban sembelihan dalam sistim hukum Musa dan hamba
Allah yang menderita dalam Kitab Yesaya merupakan gambaran dari Juruselamat
hingga sampai PB semakin jelas dibukakan bahwa Anak Manusia, yaitu Yesus
Kristus itulah yang berkuasa membuka meterai kitab kehidupan. Dalam salib
itulah hikmat Allah dan kuasa Allah dinyatakan seperti yang diungkapkan oleh
rasul Paulus (1 Kor. 1:18, 23, 24). Hanya melalui salib sajalah, manusia
berdosa yang harusnya dibinasakan ini dapat diselamatkan. Manusia tidak dapat
menyelamatkan dirinya sendiri dan upah dosa adalah maut maka satu-satunya cara
adalah Tuhan Yesus menggantikan hukuman kita. Tuntutan hukuman Allah telah
dituntaskan oleh Yesus dengan kematian-Nya di atas salib dan kebangkitan-Nya
telah melepaskan kita dari kuasa iblis yang mencengkeram – kuasa dosa telah
dilenyapkan dari manusia. Yesus adalah sumber hidup, Dia menelan kuasa kematian
sehingga orang yang percaya, tidak perlu takut pada kematian sebab kematian
telah dikalahkan dan kita pun telah diperdamaikan kembali dengan Allah dan
menjadi anak-Nya. Itulah sebabnya, rasul Paulus menyatakan aku tidak mau yang
lain kecuali salib Yesus; aku menyampahkan semua yang lain dan hanya ingin
mengenal Yesus dan kuasa kematian dan kuasa kebangkitan-Nya.
Allah yang tersalib merupakan sesuatu
yang paradoks. Bagi dunia, hal ini sangat sulit dimengerti oleh logika. Karya
keselamatan yang Allah rancangkan bagi manusia sejak kekekalan itu memang sulit
dipahami oleh akal karena itu, hanya anugerah kalau dapat memahami kasih-Nya
yang begitu besar dan ajaib. Kita yang telah merasakan kasih Allah yang nyata
dalam hidup kita biarlah kita ditundukkan di bawah kaki-Nya. Sadarlah, siapakah
kita ini, kita tidak lebih hanyalah manusia berdosa yang harusnya dibinasakan
namun Ia mau berkorban demi kita. Melalui salib, kita melihat makna penderitaan
– Allah memakai penderitaan untuk maksud yang mulia untuk kemuliaan Tuhan
semata; salib diganti dengan mahkota mulia. Hal ini menjadi perspektif bagi
mereka yang percaya sehingga orang mendapat kemenangan ketika berjalan bersama
Kristus.
3. Cawan dan Baptisan.
Dua gambaran Yesus nyatakan untuk
memperjelas hal ini. Yang pertama ialah cawan atau piala yang harus Ia minum.
Cawan itu merupakan simbol sukacita dalam PL (Mzm. 23:5), tetapi juga lambang
dukacita (Mzm. 11:6). Nah, Yesus memakai cawan dalam arti yang terakhir, yaitu
dukacita. Itu adalah cawan maut yang Allah sodorkan kepadaNya, cawan berisikan
hukuman yang harus Ia minum.
Makna cawan
berarti kita mau ikut dalam penderitaan Yesus. Ikut
dalam penderitaan Yesus tidak dapat dipersamakan dengan ketika kita menghadapi
persoalan dan tantangan dalam kehidupan kita. Tetapi, ikut dalam
penderitaan Yesus, itu berarti menderita karena mempersaksikan kebenaran dan
keselamatan yang daripadaNya. Inilah yang menjadi panggilan bagi kita.
Panggilan untuk mengambil bagian dalam keselamatan itu melalui cawan.
Yang kedua adalah mengenai baptisan. Terendam air dalam PL
merupakan pertanda dari penderitaan (Mzm. 42:8). Dibaptis berarti
merendahkan diri dengan penuh kepatuhan (bnd. Luk. 12:50), mengorbankan diri
sendiri. Maka makna kemuliaan adalah ketika kita masing-masing mau ikut
dalam mempersaksikan kebenaran dan keselamatan Tuhan yang mutlak dengan
merendahkan diri, hidup di dalam kepatuhan. Dan ini menjadi tantangan umat
Tuhan masa kini. Ketidakmampuan untuk merendahkan diri dan hidup dalam
kepatuhan menjadi persoalan besar. Yang sering terjadi adalah bangga diri
karena telah merasa melayani Tuhan yang di dalamnya rupa-rupa kepentingan hidup
dan merajalela. Dalam kepatuhan termaktub peniadaan diri, penyangkalan diri
dengan segala pangkat, kedudukan yang kita miliki. Kepatuhan kepada Kristus
adalah mengutamakan kehendak Kristus (ajaran, nilai-nilai, hukum, perintah)
hidup dan menghidupi diri seseorang. Surat Filipi menyebutnya dengan “kenosis”,
mengosongkan diri.
Saudara-saudara, Kristuslah yang menjadi teladan bagi kita dalam
hal kepatuhan dan penyangkalan diri yang dilakukanNya untuk melakukan perintah
Bapa.
4. Mau duduk dalam Kemuliaan? Allah yang punya otoritas.
Kedua gambaran itu memperjelas kenyataan
bahwa para murid, demi Kerajaan itu, harus mengikuti jalur penderitaan itu. Dan
Yesus bertanya kepada mereka, apakah mereka bersedia melakukannya. Jawaban
kedua murid itu sangat mengejutkan. Secara spontan mereka menjawab dengan “kami
dapat”. Kesediaan mereka sangat besar. Jika Yesus meminta korban demi Kerajaan
itu juga, mereka pun bersedia memberikannya. Jika jalur penderitaan itu
menjamin datangnya kemuliaan, maka mereka bersedia memberikan yang terbaik.
Tetapi sekali lagi Yesus harus
menangkis. Memang jalur penderitaan harus dilalui, tetapi pengorbanan itu tidak
akan membawa kemuliaan dengan sendirinya. Hal menjalani penderitaan itu
bukanlah jaminan akan kemuliaan, sekalipun itu merupakan syarat. Segala
keputusan ada pada Allah. Dan murid-murid Yesus tidak dapat menghindar dari
penderitaan itu. Penderitaan Tuhan merupakan “contoh dan teladan untuk seluruh
hidup kristiani”, tetapi kemuliaan adalah anugerah Allah semata-mata.
Itu mengartikan bahwa penderitaan adalah
konsekwensi dari tahapan dalam pergumulan mempersaksikan kebenaran dalam Tuhan.
Namun tidak serta merta, penderitaan itu mengharuskan seseorang mendapatkan
kemuliaan dalam Kerajaan. Itu semata-mata adalah hak dan otoritas Allah semata.
5. Kebesaran dan pelayanan.
Reaksi dari kesepuluh murid yang lain
atas pertanyaan Yakobus dan Yohanes adalah dengan marah. Murid-murid menjadi
gusar karena persoalan tempat yang utama dalam Kerajaan itu kelak. Para murid
lainnya menangkap sinyal ambisi dari kedua anak Zebedeus itu. Kemarahan para
murid menunjukkan bahwa mereka tidak suka dengan sinyal yang telah diungkapkan
oleh kedua murid. Mereka mengekpresikannya dengan kemarahan. Namun hal itu
menjadi peluang bagi Yesus untuk lebih memperjelas lagi makna yang sebenarnya
dari kebesaran itu. Untuk memberikan gambaran, Yesus mula-mula mempertentangkan
sikap raja-raja duniawi. Mereka yang menjalankan pemerintahan atas rakyat itu
memberlakukan kuasanya. Kata “menjalankan
kuasa” artinya merugikan orang lain demi keuntungan diri sendiri. Itu
sebabnya bahwa pemerintah-pemerintah dunia, raja-raja menjalankan
pemerintahannya dengan kekerasan guna untuk kepentingan diri sendiri.
Yang kedua, secara tidak langsung hal
itu mau mengatakan bahwa semua pemerintahan itu bersifat relatif. Pemerintahan
yang benar tidak ada pada penguasa-penguasa itu, tetapi pada Allah saja.
Maka dalam Kerajaan Allah itu sangatlah berbeda. Yang pasti
keadaannya sangat bertolak belakang, bahwa jalan menuju kebenaran adalah jalan
pelayanan. Jalan menuju yang terkemuka harus dilalui dengan perhambaan kepada
semua orang. Yesus tidak memerintahkan untuk mengikuti jalan itu, namun
demikianlah keadaan yang ada “di antara mereka”.
Ini menjadi bagian dalam memposisikan diri di tengah-tengah
kehidupan ini. Siapa orang yang hendak menjadi besar dan terkemuka, maka
konsisten untuk menyembunyikan seluruh atribut kebesarannya dengan
mengedepankan pengabdian yang selalu merendah dan tidak mencari muka. Orang
yang selalu mampu mencegah untuk membicarakan hal-hal yang sifatnya pribadi atau
penonjolan diri. Kita juga sadar bahwa pemuliaan terhadap martabat sesama
hanya akan dicapai melalui kasih, bukan dengan sikap yang egoisme. Sebab
semakin sikap kasih dinyatakan dengan tindakan yang merendahkan diri, kita
dimampukan untuk menemukan mutiara yang tersembunyi di dalam diri setiap
sesama. Sebaliknya semakin kita meninggikan diri, maka semakin sulit bagi kita
untuk menemukan mutiara dalam diri sesama tersebut. Itu sebabnya saat kita
meninggikan diri umumnya kita hanya melihat begitu banyak “kotoran” atau
berbagai hal yang sangat buruk dalam diri sesama. Dan akibatnya adalah kita
akan selalu merasa diri selalu lebih benar dan baik dari pada sesama kita. Atau
kita merasa diri lebih mulia dari pada orang lain. Kita sering terjebak
dalam kompleksitas perasaan yang menganggap diri serba kaya dan tinggi, padahal
rohani kita sebenarnya sangat miskin dan dangkal. Spiritualitas yang merasa
diri serba kaya dan tinggi justru akan semakin menjauhkan diri kita dari
pemaknaan hidup yang transformatif.
Saudara-saudara, sekali lagi,
Kristuslah yang menjadi teladan bagi kita. Dia memilih sikap pengosongan diri
walaupun Kristus memiliki hak untuk meninggikan diri. Mari, jadilah hamba bagi
sesama, jadilah pelayan bagi sekeliling kita karena Kristus.
III.
Mengapa Kita Harus Melayani bukan dilayani?
Apa sebabnya kita didorong untuk melayani Tuhan dan orang
lain? Dasarnya adalah karena Yesus sendiri telah melayani kita. Orang yang mau
berjalan dibelakang Yesus adalah orang yang rela melayani dan menghamba. Dalam
pelaksanaanya itu tidaklah mudah, melayani mengandung banyak segi dan resiko.
Melayani bukan berarti sekedar bersibuk di sana sini dan bukan pula sekadar
memberi ini atau itu. Melayani adalah mengosongkan diri dan menempatkan
kepentingan sendiri dibawah kepentingan Tuhan dan kepentingan orang lain. Ini
sungguh bertolak belakang dengan jalan hidup yang lazim di mana orang justru
mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Berjalan dibelakang Yesus memang adalah berjalan melawan
arus. Benarlah apa yang dikatakan Plato: “Siapa yang mau menjadi pelayan?”
sebaliknya, Yesus berkata, “tetapi Aku
ada ditengah-tengah kamu sebagai pelayan”. (Luk. 22:27)
Tidak ada alasan untuk orang Kristen
yang tidak melayani, mengapa?
1. Hidupku bukannya aku lagi tetapi Kristus
yang hidup dalamku. Gal. 2:19,20.
Suatu kesadaran diri yang benar, dimiliki oleh Paulus, sehingga
dia berkata: “Sebab aku telah mati oleh
hukum Taurat untuk hukum
Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi
bukan lagi aku sendiri yang
hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam
aku. Dan hidupku
yang kuhidupi sekarang
di dalam daging,
adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku”. Suatu alasan
yang konkrit berdasarkan fakta dan realita,
bahwa hidup anak-anak Tuhan yang dijalani
sekarang, sebenarnya bukan hidupnya sendiri,
melainkan Kristus yang hidup di
dalamnya. Hidup manusia dalam dosa adalah hidup yang ada dalam kebinasaan
dan menuju kepada hukuman
kekal, tetapi karena kasih Allah yang
besar, sehingga Dia telah menyelamatkan umat manusia. Penyelamatan
manusia itu kerena ada penebusan di dalam Tuhan Yesus. Orang yang hidupnya telah ditebus, maka hidupnya itu bukan
miliknya sendiri, melainkan sudah menjadi milik tebusannya.
2. Aku berhutang kepada kasih karunia Allah
dalam Yesus Kristus. Roma 1:14,15.
Karena hidup itu bukan miliknya sendiri, melainkan Kristus
yang hidup di dalamnya, dan itu bisa
terjadi karena pengorbanan nyawa Tuhan Yesus di atas kayu salib. Petrus berkata:
“Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari
cara hidupmu yang sia-sia yang kamu
warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan
dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.”
1Pet. 1:18,19. Ini merupakan
hutang yang tidak akan pernah terbayarkan dan tidak mungkin dapat
dibayar. Darah yang mahal, bukan saja karena pengorbanan
nyawa Tuhan Yesus, tetapi lebih dari
pada itu, yakni darah yang tidak bernoda dan bercacat.
Darah yang kudus, yang tidak bersalah
dan tidak berdosa. Oleh karena itu kita bisa menghayati dengan sungguh-sungguh ketika Paulus berkata:
“Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk
memegahkan diri. Sebab itu
adalah keharusan bagiku.
Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.”
1 Kor. 9:16. Pelayanan merupakan bayar hutang yang tidak penah terbayarkan, karena
kasih karunia Allah
dalam Yesus Kristus terlalu
mahal untuk dibayar!
3. Merupakan panggilan mutlak
dari Allah. Ef.4:1; 2 Tes. 1:11,12; 2 Tim. 1:9.
Pelayanan yang karena hidup ini bukan miliknya sendiri,
dan iut juga merupakan
pembayaran hutang yang tidak pernah terbayarkan, maka pelayanan yang sejati adalah panggilan mutlak dari Allah. Allah
selalu memulai segala
sesuatunya dengan “Panggilan-Nya yang kudus”.
Panggilan Allah adalah panggilan yang karena inisiatif
diri-Nya, yang mengasihi manusia.
Manusia tidak akan mempu
memberikan respon kepada Allah, tanpa Allah terlebih
dahulu memanggil manusia.
Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa adalah manusia
yang mempunyai kecenderungan
terus lari menjauh dari pada Allah. (Kej. 3:8). Dosa tidak mungkin membawa manusia semakin dekat kepada Allah. Dosa itu
telah memisahkan antara
Allah dan manusia.
Maka satu-satunya
jalan, di mana manusia dapat kembali kepada Allah, yaitu dengan cara Allah memanggil manusia
untuk datang kepada-Nya. “Tetapi Allah memanggil manusia itu…” (Kej.3:9). Keselamatan manusia,
juga merupakan panggilan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus.
Demikian pula dengan pelayanan; orang
yang telah dipanggil
Allah dalam rangka keselamatan hidupnya, dan setelah menerima
anugerah keselamatan itu, maka Allah juga memanggil dia untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang melayani
Dia. Sebagai “hamba”,
karena kita tidak pernah layak dihadapan
Allah, kalau Allah yang bukan melayakkan
kita. Paulus berkata: “Bukan seolah-olah
aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau
aku dapat juga
menangkapnya, karena akupun telah ditangkap
oleh Kristus Yesus. Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku
dan mengarahkan diri kepada
apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah,
yaitu panggilan sorgawi
dari Allah dalam Kristus Yesus.”
Fil. 3:12-14.
4. Kita anak-anak Allah yang dipanggil untuk
menjadi garam dan terang dunia. Mat. 5:13-16.
Karya keselamatan dari Allah, bukan saja memberikan jaminan atas keselamatan yang telah
dikerjakan-Nya, melainkan juga mengubah status kita yang binasa ini menjadi anak-anak Allah. Kita diadopsi atau diangkat
menjadi anak-anak Allah. Yohanes berkata: “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya
kuasa supaya menjadi anak-anak
Allah, yaitu mereka yang percaya dalam
nama-Nya.” Yoh. 1:12. Status ini sangat penting bagi kita, karena dengan diberina
status sebagai anak-anak Allah, maka
itu pula menyatakan bahwa kita
adalah orang-orang kudus (1. Kor.
1:2; 2 Kor.
1:1). Karena orang-orang
kudus yang telah menjadi milik Allah yang kudus, kita juga dipanggil untuk hidup yang sesuai dengan status kita sebagai anak-anak Allah. Panggilan hidup, yang merupakan
panggilan pelayanan yakni untuk menjadi garam dan terang dunia. Pelayanan senantiasa mengacu untuk menjadikan diri kita sebagai
garam dan terang
dunia. Garam yang menggarami dunia dan
terang yang menerangi dunia, bukan sebaliknya, bahwa hidup kita digarami dan diterangi oleh dunia
yang gelap ini.
Dasar-dasar itulah yang menjadikan orang-orang Kristen melayani Tuhan. Justru kita tidak bisa membuat alasan, mengapa kita tidak melayani
Tuhan! Kecuali hanya satu alasan yaitu
kita belum anak-anak Allah!
D. TUJUAN PELAYANAN: KEMULIAAN ALLAH (Ef. 1:12,
I Kor. 10:31)
Segala
sesuatu yang Allah lakukan, pada akhirnya adalah untuk kemuliaan-Nya. Tujuan
karya keselamatan Allah adalah untuk 'pujian kemuliaan-Nya' (Ef.1:6,12,14).
Allah menyelamatkan manusia bukan dengan tujuan agar mereka berbahagia
(sekalipun ini merupakan berkat yang dijanjikan-Nya). Ia menyelamatkan mereka
supaya Ia selamanya dipermuliakan di dalam diri mereka. Demikian pula tujuan
mereka memberikan segala sesuatu (termasuk pelayanan) bagi Allah, adalah untuk
kemuliaan-Nya.
Pelayan
Tuhan harus memiliki perspektif yang kekal itu. Kalau tidak, ia akan terjebak
oleh tujuan sementara, yang hanya akan membawa kepada pelayanan tubuh yang
sibuk dan palsu, yang berlindung di balik jadwal serta statistik. Tuaian
bukanlah pada akhir pertemuan, melainkan pada akhir jaman. Karena itu berbahaya
jika terlalu kaku dan fanatik dalam mengevaluasi pelayanan saat ini.
Satu-satunya tujuan yang dapat bertahan pada saat penghakiman adalah 'saya
melayani untuk kemuliaan Allah. Bila kita mempunyai tujuan seperti ini, pujian
tidak akan membuat kita tinggi hati, dan kritikan tidak akan melemahkan kita.
Keadaan sukar yang tidak dapat kita pahami dapat kita terima, selama Allah
dipermuliakan. Bahkan kita dapat melakukan lebih dari sekedar menerima, karena
sama seperti Paulus, kita dapat bermegah dalam segala perkara bagi kemuliaan
Allah (II Kor.12:7-10).
Tujuan
pelayanan yang kita lakukan adalah untuk menggenapi rencana Allah bagi seluruh
umat manusia dan untuk memuliakan nama-Nya. Apa pun yang kita katakan atau
lakukan adalah demi nama Tuhan dan bagi kemuliaan-Nya, termasuk sebagai usher
dan kolektan (Kol. 3:17).
7.
'SENJATA' PELAYANAN: ALKITAB, DOA, ROH KUDUS
Alkitab
dan doa adalah merupakan alat Allah yang paling penting. Jika kita mempelajari
Alkitab namun tidak pernah berdoa, kita akan memiliki sejumlah besar terang
tanpa panas. Jika kita berdoa tapi tidak pernah belajar Alkitab, kita dapat
menjadi fanatik dan bersemangat tapi tidak memiliki pengertian (Rom.13:2).
a.
ALKITAB
Pelayan
Tuhan yang tidak mengetahui isi Alkitab, sudah tentu merupakan kegagalan dalam
pelayanannya. Salah satu kualifikasi bagi seorang pelayan adalah cakap untuk
mengajar (II Tim.2:2). Untuk bisa mengajar maka kita harus belajar. Iptek bisa
diketahui lewat buku-buku karangan manusia, tapi pengenalan akan Allah hanya
bisa diperoleh dari Alkitab. Hal ini harus dilakukan dengan menggali isinya.
Kita dapat mengambil kayu, jerami, dan rumput kering dari permukaan tanah, dan
itu bisa dilakukan tanpa perlu banyak berusaha. Jika kita menginginkan emas dan
permata, kita harus menggalinya.
b. DOA
Charles
Bridges pernah menulis, "Pelayanan Kristen adalah pekerjaan iman".
Dan agar pelayanan itu bisa menjadi pekerjaan iman, maka harus merupakan
pekerjaan doa. Doa meneguhkan iman, sedangkan iman dalam reaksinya, mempercepat
meningkatnya doa yang penuh kesungguhan. Sangat berbahaya jika melayani tanpa
doa. Dalam segala sesuatu yang dilakukan manusia tanpa Allah, ia pasti gagal
sama sekali atau sukses dengan sangat buruk.
Merupakan
hak istimewa untuk membagikan Firman Allah kepada orang lain, tapi merupakan
hak istimewa yang jauh lebih besar untuk memelihara Firman itu dengan doa kita.
Pelayan Tuhan yang merasa terlalu sibuk untuk berdoa dan mempelajari Alkitab,
sebenarnya hanya menutupi keengganannya. Mungkin dalam pandangannya sendiri ia
sukses, tapi ia gagal dalam pandangan Allah.
Allah
tidak berjanji memberkati metode-metode, tapi Ia berjanji untuk memberkati
Firman yang ditaburkan-Nya dan untuk menjawab doa.
c. ROH
KUDUS
Bila
Roh Kudus menarik diri dari dunia ini, apakah kita akan menyadarinya? Terdapat
suatu bahaya dimana kita terbiasa bekerja tanpa kuasa Roh Kudus, sehingga
ketika Ia mau bekerja melalui kita, kita menolak-Nya.
Tetapi
terdapat begitu banyak roh palsu di dunia ini, sehingga sering Pelayan-pelayan
Tuhan pun tertipu. Ini berarti, Pelayan Tuhan harus bisa membedakan roh dan
pengajaran yang dari Tuhan atau bukan. Hal ini dapat dilakukan jika kita
dikuasai Firman Allah dan memiliki hati nurani yang telah dibersihkan Roh
Kudus.
Pelayan-pelayan
Tuhan cenderung bergantung pada latihan, talenta, dan pengalaman. Hal-hal
tersebut memang diperlukan. Pelayan Tuhan tidak boleh melalaikan hal itu. Tapi
tanpa kuasa Roh Kudus, semua itu tidak ada gunanya.
Roh
Kudus bukanlah sesuatu untuk dipamerkan melainkan pribadi yang kita butuhkan.
Pelayan Tuhan pertama-tama harus sadar bahwa ia butuh Roh Kudus. Ia akan
memberikan kuasa rohani dan hidup yang kudus. Roh Kudus ini sebenarnya sudah
dimiliki oleh seseorang yang sudah didalam Kristus.
Kita
harus menyadari bahwa pengalaman kepenuhan Roh bukanlah sesuatu untuk ditiru.
Mungkin pelayanan kita berbeda dengan Billy Graham atau John Sung atau Hudson
Taylor, tetapi kita bisa memiliki kuasa yang sama, karena Roh Kudus yang
bekerja pada diri mereka ada juga dalam diri kita.
IV.
Bentuk
praktis dalam pelayan
Di tengah jaman yang serba
ironis ini, baik di dalam maupun di luar gereja, ada baiknya kita sadari untuk
kembali pada pengertian “MELAYANI” yang sesungguhnya. Sebagai orang beriman,
tentu fokus kita kepada Yesus sang “Pelayan Sejati”. Lalu apa yang dilakukan
Yesus dalam mewujudkan tugas pelayanannya ? “sama seperti Anak Manusia
datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan
nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Matius 20 : 28)
Dengan
kata lain, melayani berarti bersikap, berperilaku, bersedia, sebagai pelayan.
Dikatakan sebagai pelayan Tuhan, itu tepat sekali, karena Tuhan yang memberi
upahnya. Namun, Tuhan tidak membutuhkan pelayanan kita. Yang membutuhkan adalah
gereja dan manusia pada umumnya yang membutuhkan. Bahkan Tuhan justru mau
datang ke dunia untuk menjadi pelayan. “Dan Raja itu akan menjawab mereka:
Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”
(Matius 25 : 40)
Pelayanan di dalam gereja hanya merupakan
bagian dari pelayanan yang menjadi tugas kita. Di luar gereja, masih banyak
tugas yang harus kita lakukan. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah,
bagaimana kita belajar dari Yesus untuk bersikap dan berperilaku sebagai
seorang pelayan.
III. Penutup
Meminjam istilah Pdt.DR. Stephen Tong , “melayani adalah
penaklukan diri didalam rencana Allah sampai mati, sehingga seluruh hidup kita
memuliakan Allah dan menjadi saluran berkat bagi orang lain”.
Dalam sebuah Perjamuan Kudus di awal tahun
1968, Martin Luther King Jr. mengutip sabda Yesus dalam Matius 10 tentang hal melayani. Lalu ia
berkata, "Setiap orang bisa menjadi orang besar karena setiap orang bisa
melayani. Anda tidak perlu menjadi seorang sarjana untuk melayani. Anda tidak
harus pandai berkata-kata untuk bisa melayani. Anda pun tidak perlu mengenal
Plato atau Aristoteles untuk bisa melayani .... Anda hanya membutuhkan hati
yang penuh kasih karunia, jiwa yang digerakkan oleh kasih."
Ketika para murid Yesus berdebat untuk
memperebutkan tempat terhormat di surga, Dia mengatakan kepada mereka:
"Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi
pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu,
hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang
bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya
menjadi tebusan bagi banyak orang" (Markus 10:43-45).
Saya jadi
bertanya-tanya. Seperti itukah pengertian kita tentang kebesaran? Apakah kita
melayani dengan senang hati, mengerjakan pekerjaan yang mungkin tidak
diperhatikan? Apakah pelayanan kita lebih ditujukan untuk menyenangkan Tuhan
daripada memperoleh pujian manusia? Jika kita bersedia menjadi pelayan, kita
akan mendapatkan kebesaran yang sejati
Jangan menjadi
pelayan yang menuntut dilayani, mari mengikut teladan Tuhan Yesus, MELAYANI
BUKAN UNTUK DILAYANI.