Welcome

Bekerjalah Untuk Makanan Yang Tidak Dapat Binasa....!!!

Tuesday 5 July 2011

Melayani Bukan Untuk Dilayani


Melayani Bukan Untuk Dilayani
By.Fernando Tambunan
Nats: Markus 10:35-45

I.        PENGANTAR
                                              
Mari kita bayangkan yang berikut ini satu persatu:
-          Seorang pelayan rumah makan bersikap tidak ramah terhadap anda


-          Pangurupi/pembantu ibu tdk ditempat, ketika ibu sedang membutuhkannya


-          Pelayan toko cuek terhadap ibu


-          Ibu diminta oleh tukang sampah untuk membuang sampah sendiri


-          Ketika ibu merintih kesakitan, sementara pelayan kesehatan asyik bercanda dengan temannya tanpa peduli dengan ibu


-          Kita sering mendengar dan melakukan apa itu melayani


-          Biasanya ini ditujukan kepada orang-orang yg lebih rendah kedudukannya/derajatnya


-          Bandingkan dgn di persekutuan/gereja siapa yg disebut sebagai pelayan

Menjadi pelayan bukanlah pekerjaan yang disukai,pada dasarnya nature manusia tidak suka untuk menjadi pelayan Plato berkata “Siapakah yang senang kalau harus melayani orang lain?”. Perkataan ini mengandung pengertian yang sangat dalam. Rupanya Plato lebih jujur daripada kita. Sebab seringkali kita mau melayani orang lain namun dalam prakteknya, kitalah yang ingin dilayani orang lain.
Tuhan Yesus berpesan agar kita saling melayani. Tiap orang percaya adalah pelayan Tuhan. Begitulah kata melayani sering dipakai di gereja, persekutuan. Pekerjaan dll. Tetapi apakah sebenarnya arti melayani?  Tema kita hari ini adalah : ”Melayani bukan untuk dilayani” sebuah motto yang gampang untuk mengatakannya namun sering kali kita tidak suka melakukannya.
Mari kita baca : MARKUS 10:35-45

II.      PELAYANAN

A.    Makna Pelayanan dalam Alkitab
Secara etimologi, kata “pelayanan” memiliki makna yang amat kompleks. Dalam Perjanjian Baru digunakan beberapa istilah, yaitu:
1.      doulos – melayani sebagai hamba (budak). Pada zaman PB, seorang budak dapat dibeli atau dijual sebagai komoditi. Seorang budak adalah seorang yang sama sekali tidak memiliki kepentingan diri sendiri. Sebagai orang percaya, kita sekalian adalah orang-orang yang telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba (doulos) kebenaran (Roma 6:18), menjadi hamba Allah (Roma 6:22).

2.      diakoneo – melayani sebagai pelayan dapur, yang menantikan perintah di sekitar meja makan (Mat. 8:15; Efs. 4:12). Ini bukan pekerjaan yang menyenangkan, karena seringkali ia akan menerima dampratan dari orang yang merasa kurang puas dilayani. Dalam arti luas kata ini menyatakan seseorang yang memperhatikan kebutuhan orang lain, kemudian berupaya untuk dapat menolong memenuhi kebutuhan itu. Orang bisa saja bekerja sebagai budak (doulos) dan tidak menolong seorangpun; tetapi jika ia seorang diakonos, ia berkaitan erat dengan upaya menolong orang lain (Luk 22:27; Yoh. 12:26;  Tim. 3:13) à kata diakonia, diaken


3.      leitourgeo – melayani orang lain di depan publik atau bekerja untuk kepentingan rakyat (Kisah 13:2) sebagai lawan untuk kepentingan pribadi. Orang yang berbuat itu disebut leitourgos dan pekerjaan luhur itu disebut leitourgia. Dari sini timbul kata liturgi untuk kata ibadah.

4.      latreuo – berarti bekerja untuk mendapat latron, yaitu gaji atau upah. Latreia  berarti juga bisa pemujaan untuk para dewa. Di perjanjian baru kata ini digunakan dalam arti menyembah atau beribadah pada Tuhan (Mat. 4:10 ; Kis 7:7) Penggunaan yang lebih jelas digunakan Paulus dalam Roma 12:1 yaitu supaya kita mempersembahkan tubuh kita kepada Tuhan sebagai logike latreia, artinya persembahan yang pantas (berkenan).

Pelbagai kata ini digunakan oleh gereja abad pertama dengan arti melayani, mengabdi atau menghamba kepada Tuhan dan kepada orang lain, atau pola hidup yang bukan lagi hidup untuk diri sendiri melainkan hidup untuk Tuhan dan untuk orang lain (bnd. 2 Kor 5:15).
Di dalam hal perbudakan ada 3 istilah yg dipakai:
1.      Aqurazo: budak yg ditebus dr pasar budak tetapi blm dibawa keluar (msh dalam pasar budak dan statusnya masih budak) à dlm dunia yg sama
2.      Ex-Aqurazo: budak yg ditebus dari pasar budak dan dibawa keluar , tetapi masih bisa kembali ke pasar budak,
3.      Lutro: di tebus dari pasar budak di bawa pulang dan dijadikan anak angkat
Bagaimana kita memahami pelayanan selama ini?
Kita mungkin seringkali mengklaim diri sebagai orang yang sibuk dengan kegiatan pelayanan. Namun pertanyaannya, apakah kita berlaku sebagai PELAYAN ? Tanpa kita sadari, mungkin kita merasa lebih tinggi daripada yang  kita layani.  Ironisnya, banyak dari kita yang semakin dalam memasuki areal pelayanan gereja, semakin jauh dari perilaku seorang pelayan. Sebaliknya bergaya sebagai “petinggi” gereja dengan segala kekuasaannya. Kenyataan ini yang seringkali menyulitkan lahirnya pelayan-pelayan baru dalam gereja.
 “aku lebih berhak ini dan itu daripada kamu, karena aku sudah sekian puluh tahun melayani”. Rasanya tidak pantas kalimat-kalimat itu dikatakan seorang “aktifis pelayanan”, namun toh ada saja yang dengan bangga mengucapkannya. Jika diminta untuk melakukan sesuatu yang kurang disukai, maka akan keluar jawaban “aku ini pelayan Tuhan, bukan pelayan kamu” atau “suruh aja orang lain, aku sibuk. Atau situ aja yang nganggur ”   

B. Apa itu pelayanan sebenarnya?
Pelayanan adalah: “Respon atas kasih karunia Allah yang telah menyelamatkan manusia di dalam Yesus Kristus, dengan penyerahan diri sebagai hamba Allah yang diwujudkan melalui persembahan hidup yang kudus dan benar, dedikasi diri dalam memikul salib Kristus untuk menjalankan visi dan misi Allah dalam menyelamatkan umat manusia”

1. Respon atas kasih karunia Allah
Pelayanan merupakan respon kasih karunia Allah yang telah diberikan kepada manusia dengan cuma-cuma. Respon yang secara otomatis muncul karena kesadaran bahwa kasih Allah itu telah diterima dalam keadaan unconditional. Pembenaran Allah dalam diri kita sebagai orang yang berdosa itu terjadi karena ada penebusan oleh Tuhan Yesus Kristus. Roma 3:24; 5:2; 2 Kor. 6:1; Ef. 1:7; 2:8; 2 Tim 1:9.
Jadi pelayanan itu bukan syarat masuk sorga, karena setiap orang yang sudah ada di dalam Tuhan Yesus Kristus sudah dijamin masuk sorga terlebih dahulu! Pelayanan bukan syarat untuk masuk ke sorga, tetapi kita sudah ada jaminan masuk ke sorga. Karena harga yang begitu mahal, kita dapat masuk ke sorga, yakni dengan darah Kristus, maka pelayanan yang kita lakukan adalah respon atas kasih Allah yang begitu besar.
2. Allah yang menyelamatkan umat manusia di dalam Yesus Kristus
Pelayanan selalu dilihat dalam koridor keselamatan manusia, yang telah dikerjakan Allah di dalam Yesus Kristus. Pelayanan tidak mungkin dapat dilepaskan dari konsep keselamatan manusia dalam Yesus  Kristus.  Manusia  yang telah  jatuh  ke  dalam  dosa  adalah  manusia  yang  menuju  kepada kebinasaan. Tidak ada cara apapun dalam diri manusia, sehingga dia dapat menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan murka Allah. Satu-satunya jalan adalah dari pihak Allah yang menyatakan diri- Nya untuk menyelamatkan umat manusia. Karya keselamatan manusia, sudah dikerjakan oleh Allah melalui Tuhan Yesus Kristus. Yes. 63:7-9; Mat. 1:21; 18:11; Luk. 19:10; Yoh. 3:16,17; Roma 1:16; 1 Tim 1:15
3. Penyerahan diri sebagai hamba Allah
Pelayanan yang sesungguhnya merupakan pernyataan konkrit dari seseorang yang menyerahkan dirinya sebagai hamba Allah. Karena dia telah mendapatkan kasih karunia dan keselamatan yang sejati, maka satu-satunya jalan yang dapat dilakukan adalah penyerahan diri di hadapan Allah. Hizkia mengingatkan Israel untuk menyerahkan diri kepada Tuhan dan datang ke tempat kudus-Nya. 2 Taw. 30:8. Penyerahan diri kepada Allah karena kita telah memperoleh hidup yang baru. Paulus menyebutkan “Serahkanlah dirimu kepada Allah sebai orang-orang yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata- senjata kebenaran”. Roma 6:12,13

4. Persembahan hidup yang kudus dan benar
Penyerahan diri dalam bentuk seluruh hidup kita. Bukan dari apa yang kita punyai, baik itu harta kita, uang kita, waktu kita, pemikiran kita, tenaga kita, dan sebagainya. Tetapi lebih dari pada itu, yakni seluruh hidup kita. Penyerahan diri yang sempurna adalah seluruh hidup kita yang kudus dan benar. Seluruh eksistensi kita secara holistik, yaitu pola pikir kita, latar belakang hidup kita, tujuan dan arah hidup kita, cita-cita dan harapan-harapan yang akan kita capai, semuanya harus kita serahkan kepada Tuhan, yang artinya kita percaya bahwa Tuhan telah mengatur hidup kita dengan sempurna. Dia bekerja dalam segala hal untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Persembahan yang hidup, yang kudus dan benar, karena Allah adalah Allah yang kudus dan benar. Hidup kudus berarti ada di dalam dunia, tetapi tidak sama dengan dunia. “Larut tidak hanyut atau hanyut tidak larut”.   Kel. 19:5,6; Maz.34:9,10; Yes. 62:10-12; Roma 12:1,2; 1 Kor. 6:18,19; Ef. 5:1-13; 1Pet. 1:13-16.
5. Dedikasi diri dalam memikul salib Kristus
Pelayanan jika dimengerti sebagai penyerahan diri menjadi hamba Allah, maka didalamnya mencakup dedikasi diri yang tinggi. Dedikasi itu dinyatakan dalam bentuk pelayanan seorang kepada yang lain, sesuai  dengan  karunia-karunia  yang  telah  diberikan  oleh  Allah.  Orang  yang  melayani  harus melakukan dengan kekuatan yang telah dianugerahkan Allah. Maka dedikasi mencakup seluruh segi kehidupan kita. Apa yang kita lakukan harus dengan satu motivasi, yakni untuk kemuliaan Allah, yaitu selalu berusaha dengan sekuat tenaga, bahwa apa yang kita lakukan dapat diperkenan Allah. 1 Pet. 4:10; 5:10; Mat. 16:25; Mark. 8:35; Kis. 20:24
6. Menjalankan visi dan misi Allah dalam menyelamatkan umat manusia
Pelayanan  yang  dilakukan  harus  dalam  visi  dan  misi  Allah  yang  menyelamatkan  semua  umat manusia. Pelayanan yang dilakukan tidak bisa terlepas dari visi dan misi Allah. Tujuan dan arah pelayanan adalah menuju pemenuhan visi dan misi Allah di dalam menyelamatkan umat manusia dari kebinasaan. Mat. 9:35; 28:19,20; Kis. 1:8; 8:12; 1 Kor. 9:27; Ef. 6:14-20

C. PENJELASAN NATS
1.  Berawal dari suatu permintaan: memanfaatkan hubungan dengan Yesus.
Ada permintaan dari anak-anak Zebedeus, yaitu Yakobus dan Yohanes kepada Yesus. Mereka mengatakan, “Guru, kami harap supaya Engkau kiranya mengabulkan suatu permintaan kami!” (ay.35). Yesus tidak menolak untuk mendengar permintaan itu dan menjawab dengan mengatakan “Apa yang kamu kehendaki Aku perbuat bagimu?” (ay. 36). Jawab anak-anak Zebedeus, “Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaan-Mu kelak, yang seorang lagi di sebelah kanan-Mu dan yang seorang di sebelah kiri-Mu” (ay. 37). Ternyata permintaan itu adalah agar Yesus memperkenankan mereka duduk dalam kemuliaan. Segera kita akan bertanya, apa dasar kedua murid untuk meminta duduk dalam kemuliaan Yesus. Kedua murid memahami bahwa Yesus adalah Mesias. Dalam pertanyaan itu terkandung makna dan kepercayaan kepada diri Yesus.
Hubungan mereka berdua kepada Yesus terasa dalam pertanyaan itu. Kehadiran Yesus dalam kehidupan mereka berdua membuka ruang pemberdayaan diri agar mereka duduk dalam pemerintahan Kristus. Yohanes dan Yakobus menghendaki agar mereka kelak berkuasa dalam kemuliaanNya. Ada keinginan, karena hubungan murid yang dekat dengan Yesus, untuk mendapatkan kedudukan bahkan kekuasaan (baca: kemuliaan). Apakah permintaan itu salah? Mari untuk tidak melihat soal salah atau benar, karena sekali lagi, ada pengaruh yang dirasakan oleh kedua murid dengan kehadiran Yesus di tengah-tengah hidup mereka. Dan tidak dapat dipungkiri, bahwa pertanyaan dan permohonan itu dilatar belakangi dari pemahaman mereka bahwa Yesus adalah Mesias. Dalam pemahaman orang Israel, Mesias akan membawa tidak hanya dalam kejayaan secara politis untuk mengalahkan lawan-lawan bangsa Israel, tetapi juga untuk membawa bangsa Israel masuk dalam kemuliaanNya di sorga.
Maka, permintaan kedua murid itu wajar-wajar saja. Mereka memintanya dari latar belakang pemahaman, latar belakang hubungan mereka kepada Yesus. Namun, kita harus katakan bahwa apakah permintaannya yang wajar itu berangkat dari pengenalan mereka yang benar sehingga mereka layak memintanya seperti itu?
Pengenalan yang melekat dalam diri Yesus haruslah menjadi bagian yang tidak boleh dilupakan oleh siapapun. Pengenalan itulah yang akan menentukan kita untuk meminta sesuatu secara benar dan layak. Apakah duduk dalam kemuliaan Yesus hanya ditentukan oleh pemahaman bahwa Yesus adalah Mesias? Seorang anak haruslah meminta kepada ayahnya apa yang patut diberikan sesuai dengan kemampuan finansial dan perekonomian keluarga. Bukankah seperti itu harusnya? Tetapi ada-ada saja anak yang tidak mampu mengenal dengan benar kemampuan seorang ayah. Kesulitan untuk mengenal, itulah persoalannya. Kemungkinan, ada beberapa hal yang membuat seseorang sulit untuk mengenal orang lain atau sesuatu, yaitu:

pertama, adanya praduga tertentu yang menghalangi mengenal seseorang dengan tepat. Hal itu biasanya disebabkan oleh karena seringnya seseorang mengeneralisasi dan menganggap semua orang yang secara fisik mirip maka mereka juga sama secara esensi. Kemiripan-kemiripan itu menjadi dasar untuk mengenal sehingga semua yang mirip itu dianggap sama esensinya.

Kedua, waktu pengenalan yang singkat. Waktu yang singkat tidak dapat menjadikan seseorang dapat mengenal betul seseorang atau sesuatu itu.
Dan yang ketiga, sifat yang menonjolkan keakuan, yang berpusat kepada diri sendiri (egosentris), yang melihat dari sisi untung rugi. Apa manfaatnya bagiku?, itulah yang sering dilontarkan. Bukankah hal demikian sering terjadi sehingga mengarahkan seseorang untuk bersikap opportunis (melihat kesempatan). Bila yang bersangkutan mempunyai kedudukan yang baik, pangkat yang tinggi, uang dan harta yang banyak, maka itu dapat mengarahkan seseorang untuk memakai kesempatan mengenal lebih dalam lagi. Pengenalannya hanya didasarkan kepada, apakah ada untung-rugi kepada yang bersangkutan.
Saudara-saudara, apakah kita mengenal Yesus dengan benar? Permohonan yang kita sampaikan kepadaNya akan menentukan seberapa dalam kita mengenal Yesus, Tuhan kita. Jangan melihat Yesus secara fenomena, jangan hanya melihat ‘cover’nya, tetapi lihat isinya.

2. Mau duduk dalam kemuliaan Tuhan?
 Namun Yesus menangkis permintaan mereka. Bayangan kedua murid itu mengenai Kerajaan itu sungguh melenceng. Mereka tidak tahu apa yang mereka minta. Yesus tidak mempersalahkan pandangan mereka mengenai Kerajaan itu. Sebab Kerajaan yang akan datang itu juga datang ke bumi dan membuat segala sesuatu baru. Tetapi Kerajaan itu akan datang melalui salib, melalui penderitaan penuh. Garis yang menghubungkan masa kini dengan Kerajaan itu bukanlah satu garis lurus, yaitu hubungan yang paling singkat di antara dua titik, melainkan garis yang penuh liku, suatu garis yang membawa korban.
Dunia menganggap salib adalah bencana dan kutuk. Salah! Bagi orang yang percaya, salib adalah kemenangan, penggenapan dari seluruh rancangan karya keselamatan Allah. Salib menjadi benang merah sejak PL dimana keturunan perempuan akan menghancurkan ular dengan tumitnya (Kej. 3:15) dan korban-korban sembelihan dalam sistim hukum Musa dan hamba Allah yang menderita dalam Kitab Yesaya merupakan gambaran dari Juruselamat hingga sampai PB semakin jelas dibukakan bahwa Anak Manusia, yaitu Yesus Kristus itulah yang berkuasa membuka meterai kitab kehidupan. Dalam salib itulah hikmat Allah dan kuasa Allah dinyatakan seperti yang diungkapkan oleh rasul Paulus (1 Kor. 1:18, 23, 24). Hanya melalui salib sajalah, manusia berdosa yang harusnya dibinasakan ini dapat diselamatkan. Manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri dan upah dosa adalah maut maka satu-satunya cara adalah Tuhan Yesus menggantikan hukuman kita. Tuntutan hukuman Allah telah dituntaskan oleh Yesus dengan kematian-Nya di atas salib dan kebangkitan-Nya telah melepaskan kita dari kuasa iblis yang mencengkeram – kuasa dosa telah dilenyapkan dari manusia. Yesus adalah sumber hidup, Dia menelan kuasa kematian sehingga orang yang percaya, tidak perlu takut pada kematian sebab kematian telah dikalahkan dan kita pun telah diperdamaikan kembali dengan Allah dan menjadi anak-Nya. Itulah sebabnya, rasul Paulus menyatakan aku tidak mau yang lain kecuali salib Yesus; aku menyampahkan semua yang lain dan hanya ingin mengenal Yesus dan kuasa kematian dan kuasa kebangkitan-Nya.
Allah yang tersalib merupakan sesuatu yang paradoks. Bagi dunia, hal ini sangat sulit dimengerti oleh logika. Karya keselamatan yang Allah rancangkan bagi manusia sejak kekekalan itu memang sulit dipahami oleh akal karena itu, hanya anugerah kalau dapat memahami kasih-Nya yang begitu besar dan ajaib. Kita yang telah merasakan kasih Allah yang nyata dalam hidup kita biarlah kita ditundukkan di bawah kaki-Nya. Sadarlah, siapakah kita ini, kita tidak lebih hanyalah manusia berdosa yang harusnya dibinasakan namun Ia mau berkorban demi kita. Melalui salib, kita melihat makna penderitaan – Allah memakai penderitaan untuk maksud yang mulia untuk kemuliaan Tuhan semata; salib diganti dengan mahkota mulia. Hal ini menjadi perspektif bagi mereka yang percaya sehingga orang mendapat kemenangan ketika berjalan bersama Kristus.

3. Cawan dan Baptisan.
Dua gambaran Yesus nyatakan untuk memperjelas hal ini. Yang pertama ialah cawan atau piala yang harus Ia minum. Cawan itu merupakan simbol sukacita dalam PL (Mzm. 23:5), tetapi juga lambang dukacita (Mzm. 11:6). Nah, Yesus memakai cawan dalam arti yang terakhir, yaitu dukacita. Itu adalah cawan maut yang Allah sodorkan kepadaNya, cawan berisikan hukuman yang harus Ia minum.
Makna cawan berarti kita mau ikut dalam penderitaan Yesus. Ikut dalam penderitaan Yesus tidak dapat dipersamakan dengan ketika kita menghadapi persoalan dan tantangan dalam kehidupan kita. Tetapi, ikut dalam penderitaan Yesus, itu berarti menderita karena mempersaksikan kebenaran dan keselamatan yang daripadaNya. Inilah yang menjadi panggilan bagi kita. Panggilan untuk mengambil bagian dalam keselamatan itu melalui cawan.
Yang kedua adalah mengenai baptisan. Terendam air dalam PL merupakan pertanda dari penderitaan (Mzm. 42:8). Dibaptis berarti merendahkan diri dengan penuh kepatuhan (bnd. Luk. 12:50), mengorbankan diri sendiri. Maka makna kemuliaan adalah ketika kita masing-masing mau ikut dalam mempersaksikan kebenaran dan keselamatan Tuhan yang mutlak dengan merendahkan diri, hidup di dalam kepatuhan. Dan ini menjadi tantangan umat Tuhan masa kini. Ketidakmampuan untuk merendahkan diri dan hidup dalam kepatuhan menjadi persoalan besar. Yang sering terjadi adalah bangga diri karena telah merasa melayani Tuhan yang di dalamnya rupa-rupa kepentingan hidup dan merajalela. Dalam kepatuhan termaktub peniadaan diri, penyangkalan diri dengan segala pangkat, kedudukan yang kita miliki. Kepatuhan kepada Kristus adalah mengutamakan kehendak Kristus (ajaran, nilai-nilai, hukum, perintah) hidup dan menghidupi diri seseorang. Surat Filipi menyebutnya dengan “kenosis”, mengosongkan diri.
Saudara-saudara, Kristuslah yang menjadi teladan bagi kita dalam hal kepatuhan dan penyangkalan diri yang dilakukanNya untuk melakukan perintah Bapa.

4. Mau duduk dalam Kemuliaan? Allah yang punya otoritas.
Kedua gambaran itu memperjelas kenyataan bahwa para murid, demi Kerajaan itu, harus mengikuti jalur penderitaan itu. Dan Yesus bertanya kepada mereka, apakah mereka bersedia melakukannya. Jawaban kedua murid itu sangat mengejutkan. Secara spontan mereka menjawab dengan “kami dapat”. Kesediaan mereka sangat besar. Jika Yesus meminta korban demi Kerajaan itu juga, mereka pun bersedia memberikannya. Jika jalur penderitaan itu menjamin datangnya kemuliaan, maka mereka bersedia memberikan yang terbaik.
Tetapi sekali lagi Yesus harus menangkis. Memang jalur penderitaan harus dilalui, tetapi pengorbanan itu tidak akan membawa kemuliaan dengan sendirinya. Hal menjalani penderitaan itu bukanlah jaminan akan kemuliaan, sekalipun itu merupakan syarat. Segala keputusan ada pada Allah. Dan murid-murid Yesus tidak dapat menghindar dari penderitaan itu. Penderitaan Tuhan merupakan “contoh dan teladan untuk seluruh hidup kristiani”, tetapi kemuliaan adalah anugerah Allah semata-mata.
Itu mengartikan bahwa penderitaan adalah konsekwensi dari tahapan dalam pergumulan mempersaksikan kebenaran dalam Tuhan. Namun tidak serta merta, penderitaan itu mengharuskan seseorang mendapatkan kemuliaan dalam Kerajaan. Itu semata-mata adalah hak dan otoritas Allah semata.

5. Kebesaran dan pelayanan.
Reaksi dari kesepuluh murid yang lain atas pertanyaan Yakobus dan Yohanes adalah dengan marah. Murid-murid menjadi gusar karena persoalan tempat yang utama dalam Kerajaan itu kelak. Para murid lainnya menangkap sinyal ambisi dari kedua anak Zebedeus itu. Kemarahan para murid menunjukkan bahwa mereka tidak suka dengan sinyal yang telah diungkapkan oleh kedua murid. Mereka mengekpresikannya dengan kemarahan. Namun hal itu menjadi peluang bagi Yesus untuk lebih memperjelas lagi makna yang sebenarnya dari kebesaran itu. Untuk memberikan gambaran, Yesus mula-mula mempertentangkan sikap raja-raja duniawi. Mereka yang menjalankan pemerintahan atas rakyat itu memberlakukan kuasanya. Kata “menjalankan kuasa” artinya merugikan orang lain demi keuntungan diri sendiri. Itu sebabnya bahwa pemerintah-pemerintah dunia, raja-raja menjalankan pemerintahannya dengan kekerasan guna untuk kepentingan diri sendiri.
Yang kedua, secara tidak langsung hal itu mau mengatakan bahwa semua pemerintahan itu bersifat relatif. Pemerintahan yang benar tidak ada pada penguasa-penguasa itu, tetapi pada Allah saja.

Maka dalam Kerajaan Allah itu sangatlah berbeda. Yang pasti keadaannya sangat bertolak belakang, bahwa jalan menuju kebenaran adalah jalan pelayanan. Jalan menuju yang terkemuka harus dilalui dengan perhambaan kepada semua orang. Yesus tidak memerintahkan untuk mengikuti jalan itu, namun demikianlah keadaan yang ada “di antara mereka”.
Ini menjadi bagian dalam memposisikan diri di tengah-tengah kehidupan ini. Siapa orang yang hendak menjadi besar dan terkemuka, maka konsisten untuk menyembunyikan seluruh atribut kebesarannya dengan mengedepankan pengabdian yang selalu merendah dan tidak mencari muka. Orang yang selalu mampu mencegah untuk membicarakan hal-hal yang sifatnya pribadi atau penonjolan diri.  Kita juga sadar bahwa pemuliaan terhadap martabat sesama hanya akan dicapai melalui kasih, bukan dengan sikap yang egoisme. Sebab semakin sikap kasih dinyatakan dengan tindakan yang merendahkan diri, kita dimampukan untuk menemukan mutiara yang tersembunyi di dalam diri setiap sesama. Sebaliknya semakin kita meninggikan diri, maka semakin sulit bagi kita untuk menemukan mutiara dalam diri sesama tersebut. Itu sebabnya saat kita meninggikan diri umumnya kita hanya melihat begitu banyak “kotoran” atau berbagai hal yang sangat buruk dalam diri sesama. Dan akibatnya adalah kita akan selalu merasa diri selalu lebih benar dan baik dari pada sesama kita. Atau kita merasa diri lebih mulia dari pada orang lain.  Kita sering terjebak dalam kompleksitas perasaan yang menganggap diri serba kaya dan tinggi, padahal rohani kita sebenarnya sangat miskin dan dangkal. Spiritualitas yang merasa diri serba kaya dan tinggi justru akan semakin menjauhkan diri kita dari pemaknaan hidup yang transformatif.

Saudara-saudara, sekali lagi, Kristuslah yang menjadi teladan bagi kita. Dia memilih sikap pengosongan diri walaupun Kristus memiliki hak untuk meninggikan diri. Mari, jadilah hamba bagi sesama, jadilah pelayan bagi sekeliling kita karena Kristus.

III.               Mengapa Kita Harus Melayani bukan dilayani?
Apa sebabnya kita didorong untuk melayani Tuhan dan orang lain? Dasarnya adalah karena Yesus sendiri telah melayani kita. Orang yang mau berjalan dibelakang Yesus adalah orang yang rela melayani dan menghamba. Dalam pelaksanaanya itu tidaklah mudah, melayani mengandung banyak segi dan resiko. Melayani bukan berarti sekedar bersibuk di sana sini dan bukan pula sekadar memberi ini atau itu. Melayani adalah mengosongkan diri dan menempatkan kepentingan sendiri dibawah kepentingan Tuhan dan kepentingan orang lain. Ini sungguh bertolak belakang dengan jalan hidup yang lazim di mana orang justru mengutamakan kepentingan diri sendiri.
Berjalan dibelakang Yesus memang adalah berjalan melawan arus. Benarlah apa yang dikatakan Plato: “Siapa yang mau menjadi pelayan?” sebaliknya,  Yesus berkata, “tetapi Aku ada ditengah-tengah kamu sebagai pelayan”. (Luk. 22:27)
Tidak ada alasan untuk orang Kristen yang tidak melayani, mengapa?
1. Hidupku bukannya aku lagi tetapi Kristus yang hidup dalamku. Gal. 2:19,20.
Suatu kesadaran diri yang benar, dimiliki oleh Paulus, sehingga dia berkata: Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku”. Suatu alasan yang konkrit berdasarkan fakta dan realita, bahwa hidup anak-anak Tuhan yang dijalani sekarang, sebenarnya bukan hidupnya sendiri, melainkan Kristus yang hidup di dalamnya. Hidup manusia dalam dosa adalah hidup yang ada dalam kebinasaan dan menuju kepada hukuman kekal, tetapi karena kasih Allah yang besar, sehingga Dia telah menyelamatkan umat manusia. Penyelamatan manusia itu kerena ada penebusan di dalam Tuhan Yesus. Orang yang hidupnya telah ditebus, maka hidupnya itu bukan miliknya sendiri, melainkan sudah menjadi milik tebusannya.

2. Aku berhutang kepada kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus. Roma 1:14,15.
Karena hidup itu bukan miliknya sendiri, melainkan Kristus yang hidup di dalamnya, dan itu bisa terjadi karena pengorbanan nyawa Tuhan Yesus di atas kayu salib. Petrus berkata:   “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.”
1Pet. 1:18,19. Ini merupakan hutang yang tidak akan pernah terbayarkan dan tidak mungkin dapat dibayar. Darah yang mahal, bukan saja karena pengorbanan nyawa Tuhan Yesus, tetapi lebih dari pada itu, yakni darah yang tidak bernoda dan bercacat. Darah yang kudus, yang tidak bersalah dan tidak berdosa. Oleh karena itu kita bisa menghayati dengan sungguh-sungguh ketika Paulus berkata: “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” 1 Kor. 9:16. Pelayanan merupakan bayar hutang yang tidak penah terbayarkan, karena kasih karunia Allah dalam Yesus Kristus terlalu mahal untuk dibayar!

3. Merupakan panggilan mutlak dari Allah. Ef.4:1; 2 Tes. 1:11,12; 2 Tim. 1:9.
Pelayanan yang karena hidup ini bukan miliknya sendiri, dan iut juga merupakan pembayaran hutang yang tidak pernah terbayarkan, maka pelayanan yang sejati adalah panggilan mutlak dari Allah. Allah  selalu memulai segala sesuatunya dengan “Panggilan-Nya  yang kudus”. Panggilan Allah  adalah panggilan yang karena inisiatif diri-Nya, yang mengasihi manusia. Manusia tidak akan mempu memberikan respon kepada Allah, tanpa Allah terlebih dahulu memanggil manusia. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa adalah manusia yang mempunyai kecenderungan terus lari menjauh dari pada Allah. (Kej. 3:8). Dosa tidak mungkin membawa manusia semakin dekat kepada Allah. Dosa itu telah memisahkan antara Allah dan manusia. Maka satu-satunya  jalan, di mana manusia dapat kembali kepada Allah, yaitu dengan cara Allah memanggil manusia untuk datang kepada-Nya. “Tetapi Allah memanggil manusia itu…” (Kej.3:9). Keselamatan manusia, juga merupakan panggilan Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Demikian pula dengan pelayanan; orang yang telah dipanggil Allah dalam rangka keselamatan hidupnya, dan setelah menerima anugerah keselamatan itu, maka Allah juga memanggil dia untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang melayani Dia. Sebagai “hamba”, karena kita tidak pernah layak dihadapan Allah, kalau Allah yang bukan melayakkan kita. Paulus berkata: “Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau  aku  dapat  juga  menangkapnya,  karena  akupun telah  ditangkap oleh  Kristus Yesus. Saudara-saudara, aku sendiri tidak menganggap, bahwa aku telah menangkapnya, tetapi ini yang kulakukan: aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku, dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.” Fil. 3:12-14.

4. Kita anak-anak Allah yang dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia. Mat. 5:13-16.
Karya keselamatan dari Allah, bukan saja memberikan jaminan atas keselamatan yang telah dikerjakan-Nya, melainkan juga mengubah status kita yang binasa ini menjadi anak-anak Allah. Kita diadopsi atau diangkat menjadi anak-anak Allah. Yohanes berkata: “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya.” Yoh. 1:12. Status ini sangat penting bagi kita, karena dengan diberina status sebagai anak-anak Allah, maka itu pula menyatakan bahwa kita adalah orang-orang kudus (1. Kor. 1:2; 2 Kor.
1:1). Karena orang-orang kudus yang telah menjadi milik Allah yang kudus, kita juga dipanggil untuk hidup yang sesuai dengan status kita sebagai anak-anak Allah. Panggilan hidup, yang merupakan panggilan pelayanan yakni untuk menjadi garam dan terang dunia. Pelayanan senantiasa mengacu untuk menjadikan diri kita sebagai garam dan terang dunia. Garam yang menggarami dunia dan terang yang menerangi dunia, bukan sebaliknya, bahwa hidup kita digarami dan diterangi oleh dunia yang gelap ini.
Dasar-dasar  itulah  yang  menjadikan  orang-orang  Kristen melayani  Tuhan.  Justru kita  tidak  bisa membuat alasan, mengapa kita tidak melayani Tuhan! Kecuali hanya satu alasan yaitu kita belum anak-anak Allah!

D.  TUJUAN PELAYANAN: KEMULIAAN ALLAH (Ef. 1:12, I Kor. 10:31)
Segala sesuatu yang Allah lakukan, pada akhirnya adalah untuk kemuliaan-Nya. Tujuan karya keselamatan Allah adalah untuk 'pujian kemuliaan-Nya' (Ef.1:6,12,14). Allah menyelamatkan manusia bukan dengan tujuan agar mereka berbahagia (sekalipun ini merupakan berkat yang dijanjikan-Nya). Ia menyelamatkan mereka supaya Ia selamanya dipermuliakan di dalam diri mereka. Demikian pula tujuan mereka memberikan segala sesuatu (termasuk pelayanan) bagi Allah, adalah untuk kemuliaan-Nya.
Pelayan Tuhan harus memiliki perspektif yang kekal itu. Kalau tidak, ia akan terjebak oleh tujuan sementara, yang hanya akan membawa kepada pelayanan tubuh yang sibuk dan palsu, yang berlindung di balik jadwal serta statistik. Tuaian bukanlah pada akhir pertemuan, melainkan pada akhir jaman. Karena itu berbahaya jika terlalu kaku dan fanatik dalam mengevaluasi pelayanan saat ini. Satu-satunya tujuan yang dapat bertahan pada saat penghakiman adalah 'saya melayani untuk kemuliaan Allah. Bila kita mempunyai tujuan seperti ini, pujian tidak akan membuat kita tinggi hati, dan kritikan tidak akan melemahkan kita. Keadaan sukar yang tidak dapat kita pahami dapat kita terima, selama Allah dipermuliakan. Bahkan kita dapat melakukan lebih dari sekedar menerima, karena sama seperti Paulus, kita dapat bermegah dalam segala perkara bagi kemuliaan Allah (II Kor.12:7-10).
Tujuan pelayanan yang kita lakukan adalah untuk menggenapi rencana Allah bagi seluruh umat manusia dan untuk memuliakan nama-Nya. Apa pun yang kita katakan atau lakukan adalah demi nama Tuhan dan bagi kemuliaan-Nya, termasuk sebagai usher dan kolektan (Kol. 3:17).
7. 'SENJATA' PELAYANAN: ALKITAB, DOA, ROH KUDUS
Alkitab dan doa adalah merupakan alat Allah yang paling penting. Jika kita mempelajari Alkitab namun tidak pernah berdoa, kita akan memiliki sejumlah besar terang tanpa panas. Jika kita berdoa tapi tidak pernah belajar Alkitab, kita dapat menjadi fanatik dan bersemangat tapi tidak memiliki pengertian (Rom.13:2).
a. ALKITAB
Pelayan Tuhan yang tidak mengetahui isi Alkitab, sudah tentu merupakan kegagalan dalam pelayanannya. Salah satu kualifikasi bagi seorang pelayan adalah cakap untuk mengajar (II Tim.2:2). Untuk bisa mengajar maka kita harus belajar. Iptek bisa diketahui lewat buku-buku karangan manusia, tapi pengenalan akan Allah hanya bisa diperoleh dari Alkitab. Hal ini harus dilakukan dengan menggali isinya. Kita dapat mengambil kayu, jerami, dan rumput kering dari permukaan tanah, dan itu bisa dilakukan tanpa perlu banyak berusaha. Jika kita menginginkan emas dan permata, kita harus menggalinya.
b. DOA
Charles Bridges pernah menulis, "Pelayanan Kristen adalah pekerjaan iman". Dan agar pelayanan itu bisa menjadi pekerjaan iman, maka harus merupakan pekerjaan doa. Doa meneguhkan iman, sedangkan iman dalam reaksinya, mempercepat meningkatnya doa yang penuh kesungguhan. Sangat berbahaya jika melayani tanpa doa. Dalam segala sesuatu yang dilakukan manusia tanpa Allah, ia pasti gagal sama sekali atau sukses dengan sangat buruk.
Merupakan hak istimewa untuk membagikan Firman Allah kepada orang lain, tapi merupakan hak istimewa yang jauh lebih besar untuk memelihara Firman itu dengan doa kita. Pelayan Tuhan yang merasa terlalu sibuk untuk berdoa dan mempelajari Alkitab, sebenarnya hanya menutupi keengganannya. Mungkin dalam pandangannya sendiri ia sukses, tapi ia gagal dalam pandangan Allah.
Allah tidak berjanji memberkati metode-metode, tapi Ia berjanji untuk memberkati Firman yang ditaburkan-Nya dan untuk menjawab doa.
c. ROH KUDUS
Bila Roh Kudus menarik diri dari dunia ini, apakah kita akan menyadarinya? Terdapat suatu bahaya dimana kita terbiasa bekerja tanpa kuasa Roh Kudus, sehingga ketika Ia mau bekerja melalui kita, kita menolak-Nya.
Tetapi terdapat begitu banyak roh palsu di dunia ini, sehingga sering Pelayan-pelayan Tuhan pun tertipu. Ini berarti, Pelayan Tuhan harus bisa membedakan roh dan pengajaran yang dari Tuhan atau bukan. Hal ini dapat dilakukan jika kita dikuasai Firman Allah dan memiliki hati nurani yang telah dibersihkan Roh Kudus.
Pelayan-pelayan Tuhan cenderung bergantung pada latihan, talenta, dan pengalaman. Hal-hal tersebut memang diperlukan. Pelayan Tuhan tidak boleh melalaikan hal itu. Tapi tanpa kuasa Roh Kudus, semua itu tidak ada gunanya.
Roh Kudus bukanlah sesuatu untuk dipamerkan melainkan pribadi yang kita butuhkan. Pelayan Tuhan pertama-tama harus sadar bahwa ia butuh Roh Kudus. Ia akan memberikan kuasa rohani dan hidup yang kudus. Roh Kudus ini sebenarnya sudah dimiliki oleh seseorang yang sudah didalam Kristus.
Kita harus menyadari bahwa pengalaman kepenuhan Roh bukanlah sesuatu untuk ditiru. Mungkin pelayanan kita berbeda dengan Billy Graham atau John Sung atau Hudson Taylor, tetapi kita bisa memiliki kuasa yang sama, karena Roh Kudus yang bekerja pada diri mereka ada juga dalam diri kita.

IV.             Bentuk praktis dalam pelayan
Di tengah jaman yang serba ironis ini, baik di dalam maupun di luar gereja, ada baiknya kita sadari untuk kembali pada pengertian “MELAYANI” yang sesungguhnya. Sebagai orang beriman, tentu fokus kita kepada Yesus sang “Pelayan Sejati”. Lalu apa yang dilakukan Yesus dalam mewujudkan tugas pelayanannya ? “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Matius 20 : 28)
                 Dengan kata lain, melayani berarti bersikap, berperilaku, bersedia, sebagai pelayan. Dikatakan sebagai pelayan Tuhan, itu tepat sekali, karena Tuhan yang memberi upahnya. Namun, Tuhan tidak membutuhkan pelayanan kita. Yang membutuhkan adalah gereja dan manusia pada umumnya yang membutuhkan. Bahkan Tuhan justru mau datang ke dunia untuk menjadi pelayan. “Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Matius 25 : 40)
Pelayanan di dalam gereja hanya merupakan bagian dari pelayanan yang menjadi tugas kita. Di luar gereja, masih banyak tugas yang harus kita lakukan. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah, bagaimana kita belajar dari Yesus untuk bersikap dan berperilaku sebagai seorang pelayan.

III. Penutup
Meminjam istilah Pdt.DR. Stephen Tong , “melayani adalah penaklukan diri didalam rencana Allah sampai mati, sehingga seluruh hidup kita memuliakan Allah dan menjadi saluran berkat bagi orang lain”.
Dalam sebuah Perjamuan Kudus di awal tahun 1968, Martin Luther King Jr. mengutip sabda Yesus dalam Matius 10 tentang hal melayani. Lalu ia berkata, "Setiap orang bisa menjadi orang besar karena setiap orang bisa melayani. Anda tidak perlu menjadi seorang sarjana untuk melayani. Anda tidak harus pandai berkata-kata untuk bisa melayani. Anda pun tidak perlu mengenal Plato atau Aristoteles untuk bisa melayani .... Anda hanya membutuhkan hati yang penuh kasih karunia, jiwa yang digerakkan oleh kasih."


Ketika para murid Yesus berdebat untuk memperebutkan tempat terhormat di surga, Dia mengatakan kepada mereka: "Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya. Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Markus 10:43-45).


Saya jadi bertanya-tanya. Seperti itukah pengertian kita tentang kebesaran? Apakah kita melayani dengan senang hati, mengerjakan pekerjaan yang mungkin tidak diperhatikan? Apakah pelayanan kita lebih ditujukan untuk menyenangkan Tuhan daripada memperoleh pujian manusia? Jika kita bersedia menjadi pelayan, kita akan mendapatkan kebesaran yang sejati


Jangan menjadi pelayan yang menuntut dilayani, mari mengikut teladan Tuhan Yesus, MELAYANI BUKAN UNTUK DILAYANI.