Welcome

Bekerjalah Untuk Makanan Yang Tidak Dapat Binasa....!!!

Thursday 14 July 2011

Riwayat Hidup Sumi San


GADIS PEJUANG IMAN
(Riwayat Hidup Sumi San dari Negeri Jepang)


  Sumi San dilahirkan dalam keluarga yang sederhana, ayahnya seorang   pedagang pipa air, sedang ibunya adalah seorang ibu rumah tangga   biasa. Semasa remaja, ia harus hidup berkekurangan karena ayahnya   mengalami kerugian besar dalam berdagang. Dampaknya, orang tua Sumi   harus menanggung utang yang tidak sedikit jumlahnya. Demi membantu   meringankan beban orang tuanya, Sumi meninggalkan kampung halamannya   dan bekerja di sebuah perusahaan tekstil di Kobe. Tidak ada waktu   baginya untuk memikirkan hal-hal lain di luar rutinitasnya. Waktunya   ia habiskan untuk bekerja dan belajar. Semangat dan kemauan yang   begitu kuat menyebabkan ia tidak memedulikan kondisi kesehatannya.   Tanpa disadari, ia menderita penyakit bronkitis dan beri-beri yang   menyebabkan ia harus dirawat di sebuah rumah sakit selama tiga   bulan. Setelah sembuh dari sakitnya, ia dikeluarkan dari   pekerjaannya. Hal ini membuatnya sangat sedih karena pekerjaan   tersebut sangat ia butuhkan dan merupakan satu-satunya cara agar ia   dapat membantu meringankan beban orang tuanya.

  Sumi pun memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Funo.   Persoalan utama baginya saat ini adalah bagaimana ia dapat membantu   orang tuanya dalam hal keuangan. Akhirnya, ia memutuskan untuk   mendaftar ke sebuah sekolah perawat di Hiroshima. Berkat ketekunan   dan kesabarannya, ia diterima di sekolah tersebut, bahkan mendapat   beasiswa sehingga ia tidak perlu menanggung semua biaya sekolahnya.
  Berkat semangat dan kesabarannya pula, Sumi mampu menyelesaikan   pendidikannya dengan nilai yang sangat memuaskan dan mendapat   kesempatan bekerja pada sebuah rumah sakit.

  Namun di tengah kebahagiaannya, ia mendapat kabar bahwa ibunya   meninggal karena sakit. Masalah tidak berhenti sampai di situ. Ia   dihadapkan pada persoalan baru -- siapakah yang akan menggantikan   ibunya mengurus rumah tangga? Sebagai anak tertua, Sumi sadar bahwa   dialah yang akan melaksanakan tugas tersebut. Sungguh bukan hal   mudah baginya. Namun, ia dan ayahnya yakin bahwa mereka dapat   mengatasi kesulitan yang sedang terjadi dan segalanya pasti akan   kembali normal dengan bantuan dewa Hotoke San. Sumi dan keluarganya  adalah penganut agama Budha. Prinsip hidupnya didasarkan pada ajaran  tersebut, yaitu bahwa "hidup hanyalah soal nasib semata, biarpun   manusia dapat berbuat sesuatu untuk meringankan beban hidupnya".  Sumi dibesarkan dalam ajaran ini dan ia menyerahkan hidupnya pada  nasib. Ia berusaha untuk mencari jalan keluar dari masalah yang  terjadi dalam hidupnya dan berharap mudah-mudahan nasib baik akan  menghampirinya pada masa yang akan datang.

  Di samping mengurus rumah tangga, Sumi juga terus memerdalam  pengetahuan keperawatannya. Ia berharap suatu hari nanti dapat  bekerja pada sebuah distrik dengan penghasilan yang jauh lebih besar  daripada penghasilan bekerja di rumah sakit. Nasib baik nampaknya  berpihak pada Sumi, ia diterima sebagai perawat di Badan Kesehatan   Distrik di bagian timur Kobe. Suatu hari, Sumi mendapat tugas baru.  Ia ditugaskan merawat Machan, putra tunggal keluarga Komatsu yang  menderita bisul pada kakinya. Tugas tesebut mengharuskannya untuk  datang setiap hari ke rumah Machan. Kedatangan Sumi selalu disambut  gembira oleh Machan, mereka berdua benar-benar telah menjadi  sahabat. Namun secara diam-diam, Komatsu, ayah Machan, menaruh  perhatian khusus kepada Sumi. Sumi mengetahui hal tersebut, dan  karenanya ia berusaha menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengan  Komatsu, mengingat Komatsu sudah memiliki istri.

  Setelah mendapatan perawatan yang intensif, kaki Machan benar-benar  sembuh. Di akhir kunjungannya, Sumi mendapatkan sebuah kado dari  Machan. Tidak hanya itu, Komatsu juga memberikan sebuah bungkusan  kecil sebagai tanda terima kasihnya kepada Sumi yang telah merawat  Machan. Dari bungkusan kecil tersebut, Sumi tahu bahwa tanda terima  kasih tersebut adalah uang. Sumi menolak pemberian tersebut dengan  alasan pihak rumah sakit telah menggajinya atas tugas tersebut.  Tidak hanya itu, Komatsu juga meminta Sumi untuk sesekali bertemu  dan berbincang-bincang dengannya. Karena terus didesak dan merasa  telah berutang budi pada pihak keluarga Komatsu (dalam budaya  Jepang, suatu utang harus dilunasi secara penuh dan tidak boleh  kurang suatu apa pun), akhirnya Sumi menerima bungkusan tersebut  (bungkusan berisi uang seratus yen, lebih banyak dari jumlah gajinya  selama dua bulan) dan berjanji sesekali akan menemui Komatsu hanya  untuk berbincang-bincang sebagai seorang teman.

  Tawaran Komatsu yang telah diterimanya ternyata membuat Sumi merasa  tidak nyaman. Ia memutuskan untuk meninggalkan Kobe dan mencari  pekerjaan di tempat lain. Sumi mencoba melamar ke beberapa tempat  dan ia diterima bekerja di sebuah rumah sakit swasta di Tokyo. Ia  merasa lega, pikirnya ia akan terbebas dari persoalan tersebut.  Namun setelah setahun bekerja di Tokyo, tiba-tiba ia mendapat  kunjungan dari seseorang. Ya, orang tersebut adalah Komatsu. Tentu  saja kunjungan Komatsu membuatnya sangat terkejut. Apa sebenarnya  tujuan Komatsu berkunjung ke Tokyo? Apakah hanya sekadar untuk  menemuinya? Tujuan Komatsu menemui Sumi adalah untuk menjodohkannya  dengan Jiro, adik kandungnya. Dan tanpa sepengetahuan Sumi, ternyata  Komatsu telah terlebih dahulu menemui keluarga Sumi di Funo untuk  membicarakan rencana tersebut, dan pihak keluarga pun menyetujuinya.

  Sumi memang merindukan sebuah rumah tangga sebagaimana layaknya  seorang wanita, namun bukan dengan Jiro, karena sebenarnya Sumi  mencintai Katzuo, pemuda asal Funo yang sedang ditugaskan di Cina  sebagai seorang prajurit. Hingga saat ini, Sumi tidak pernah  mengetahui dengan pasti kabar maupun keberadaan Katzuo, namun Sumi  yakin Katzuo akan kembali ke Funo karena bagaimanapun mereka pernah  berjanji akan membawa hubungan tersebut sampai ke pernikahan. Sumi  menolak tawaran Komatsu, namun Komatsu tidak kehabisan akal,  Komatsu berencana mengajukan Sumi ke pengadilan atas tuduhan Sumi  telah berutang kepada keluarga Komatsu dan tidak mampu  membayarnya, jika Sumi menolak tawaran Komatsu untuk menikah dengan  adiknya. Akhirnya dengan berat hati, Sumi menerima tawaran tersebut.

  Pernikahan Sumi dan Jiro pun berlangsung menurut cara dan adat  Jepang. Sumi pun resmi menjadi istri Jiro. Selama resepsi  berlangsung, Jiro hanya diam saja. Namun setelah meminum sake, ia  tertawa dan berteriak-teriak layaknya orang gila, sehingga para tamu  menjadi sangsi apakah ia benar-benar waras. Selama mengarungi rumah  tangga bersama Jiro, hampir setiap malam Jiro tidak berada di rumah,  ia pergi ke tempat hiburan malam dan menghabiskan sepanjang malam  dengan minuman keras dan wanita. Sumi tinggal sendirian di rumah,  rasa sepi mulai menghampirinya dan ia bertekad untuk mengakhiri  penderitaannya dengan bunuh diri. Namun, pikiran tersebut segera  dibuangnya jauh-jauh ketika ia mengingat utang ayahnya yang belum  lunas.

  Pada suatu malam, Komatsu berkunjung ke rumah Sumi untuk menjalankan  rencana yang telah ia rencanakan dengan matang. Komatsu tidak pernah  memikirkan kebahagiaan Jiro maupun Sumi. Ia melakukannya agar Sumi  berada di sampingnya dan untuk kepuasan dirinya saja. Ia tahu Jiro  tidak pernah berada di rumah. Ia berusaha merayu Sumi. Tidak hanya  itu, Komatsu juga menggunakan kekerasan. Tetapi Sumi melawan dan  berteriak dengan sekuat tenaga sehingga teriakannya sampai terdengar  oleh kakak laki-laki Komatsu yang tinggal tidak jauh dari rumah  Sumi. Sumi menceritakan apa yang telah dialaminya kepada kakak  iparnya. Kakak Komatsu menaruh rasa iba kepada Sumi dan berjanji  akan mencarikan tempat yang aman baginya. Pagi harinya, mereka  berdua pergi ke suatu tempat yang telah dijanjikannya. Mereka pergi  ke sebuah rumah di dekat pantai. Rumah tersebut adalah milik Yamada  -- teman kakak Komatsu. Yamada adalah seorang janda yang suaminya  telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sumi merasa aman berada di  rumah Yamada dan karena itulah Sumi tidak segan untuk menceritakan  pengalaman pahitnya kepada Yamada.

  Yamada memperkenalkan Sumi kepada Koide. Ia adalah seorang Kristen  dan Koide mulai menceritakan kasih Kristus kepada Sumi. Meskipun  hati Sumi sudah dipenuhi oleh kebencian dan dendam, tetapi Yamada  dan Koide tidak menyerah. Mereka berdua terus menceritakan kasih  Allah dan mengajaknya ke gereja. Pada awalnya Sumi menolak, namun  setelah dipikirkannya, ia berpendapat apa salahnya apabila ia  memenuhi ajakan Koide. Sumi tidak tertarik pada khotbah yang  disampaikan dalam kebaktian tersebut karena khotbah yang disampaikan  malam itu mengenai kasih Allah kepada manusia. Karena pengalaman  hidupnya, maka ia meragukan ajaran tersebut. Namun Koide tidak  menyerah, ia terus mengajak Sumi mengikuti kebaktian yang setiap  minggu diadakan oleh Pendeta Honda di gereja. Sumi menjadi  pengunjung tetap, tapi ia belum bersedia menyerahkan hidupnya kepada  Kristus. Seusai kebaktian, pendeta Honda menghampiri Sumi dan  bertanya kepadanya mengapa ia tidak mau percaya kepada Kristus. Sumi  menjawab bahwa ia akan percaya jika pendeta Honda mampu  memerlihatkan Tuhan kepadanya. Malam itu, pendeta Honda dan Koide  mendoakan Sumi. Dan Tuhan menjamah hatinya, ia bersedia mengampuni  orang-orang yang telah menyakitinya dan menyerahkan hidupnya kepada  Kristus.

  Dua tahun kemudian terjadi perang pasifik. Rumah Sumi tak luput dari  keganasan perang tersebut -- semuanya hancur. Ia tidak memunyai  rumah lagi, jalan satu-satunya adalah kembali ke Funo dan tinggal di  sana sampai perang berakhir. Sumi berangkat menuju kampungnya dengan  menggunakan kereta api, perjalanan tersebut cukup melelahkan. Sumi  tiba di desa Sawadani. Ketika ia sedang menunggu bis yang menuju  Funo, seorang pria mendekatinya dan mengajaknya berbincang-bincang.  Pria tersebut menawarkan kepada Sumi untuk menjadi perawat di  Sawadani, mengingat tidak ada perawat di tempat itu saat ini. Sumi  pun menerima tawaran tersebut.

  Pasien pertamanya adalah seorang ibu yang akan melahirkan. Ini  adalah kelahiran anaknya yang ketiga. Kedua anaknya yang terdahulu  meninggal selama proses persalinan dan ia sangat takut jika anaknya  yang ketiga akan lahir dengan kondisi yang sama. Sumi memanfaatkan  waktu tersebut untuk menceritakan kasih Allah kepadanya dan berdoa  baginya. Persalinan berjalan dengan lancar dan anaknya dapat lahir  dengan selamat. Setiap hari, semakin banyak pasien yang harus  ditanganinya. Sumi tidak hanya merawat pasien-pasiennya, tetapi ia  juga memberikan hiburan, semangat, dan mendoakan mereka. Namun, ada  satu hal yang mengusik hatinya. Sebagai bidan, ia tahu bahwa banyak  anak yang lahir di luar pernikahan. Penduduk setempat menganggap hal
  itu sebagai hal yang biasa. Namun, Sumi tahu bahwa hal tersebut  merupakan dosa. Ia tahu bahwa jalan keluar atas masalah ini adalah  dengan menyampaikan ajaran Kristus. Sumi semakin yakin bahwa Tuhan  menempatkannya di Sawadani untuk menyampaikan Kabar Baik kepada  penduduk setempat. Tapi ia tahu, ia tidak dapat melaksanakannya  sendirian. Ia tidak memiliki pendidikan khusus, namun ia berdoa agar  Tuhan membimbingnya untuk menanamkan nilai-nilai Kristen di  Sawadani.

  Tiga tahun setelah perang berakhir, tepatnya pada tahun 1948,  Pendeta Honda membangun kembali pelayanannya -- menceritakan Kabar  Baik. Suatu hari, ia mendapat surat dari Sumi yang memintanya datang  ke Sawadani. Namun, ia tidak dapat memenuhi permintaan Sumi. Ia  menyarankan agar Sumi menemui Pendeta Hashimoto. Pendeta Hashimoto  bukan orang asing bagi Sumi, ia sering memimpin kebaktian yang  sering dikunjungi Sumi ketika berada di Kobe. Pendeta Hashimoto  memenuhi permintaan Sumi meskipun pada saat itu kondisinya tidak  terlalu sehat untuk melakukan perjalanan jauh. Ia juga mengajak  Koide ke Sawadani. Kebaktian dimulai pukul tujuh malam. Jumlah orang  yang menghadiri kekebaktian tersebut sungguh di luar dugaan -- lebih  dari empat puluh orang. Pada hari kedua, orang yang datang jumlahnya  lebih banyak dari sebelumnya. Apa yang diharapkan Sumi terjadi pada  hari ketiga -- beberapa penduduk memutuskan untuk mengikut Kristus  dan dibaptis. Di antara orang-orang yang akan di baptis, ada seorang  pria bernama Sugimoto -- dialah yang menjadi motor penggerak  pertumbuhan orang Kristen di Sawadani. Kejadian ini membuat Sumi  bahagia. Namun di tengah kebahagiaan tersebut, Sumi dinyatakan  positif mengidap kanker payudara. Penyakit tersebut tidak membuat  imannya goyah. Persoalan tidak berhenti sampai di situ. Karena  pertumbuhan orang Kristen yang luar biasa, mau tidak mau menimbulkan  sebuah tantangan baru.

  Suatu sore, Pendeta Hashimoto didatangi orang yang tidak ia kenal.  Orang tersebut adalah seorang pendeta Budha. Kunjungan tersebut  merupakan awal usaha menghalangi upaya penginjilan di Sawadani. Para  pendeta Budha memiliki pengaruh yang cukup besar di Sawadani. Mereka  memaksa agar setiap orang tua melarang anak-anak mereka untuk pergi  ke gereja. Hal ini membuat Sumi sangat sedih. Namun, pekerjaan Tuhan  tidak dapat dihancurkan oleh tangan manusia. Larangan para orang tua  tidak menyebabkan anak-anak mereka meninggalkan gereja. Meskipun  harus pergi ke gereja secara sembunyi-sembunyi, namun mereka tidak  takut menyaksikan Kristus kepada penduduk yang belum percaya.

  Pada tanggal 24 Mei 1949, Sumi menjalani operasi di sebuah rumah  sakit di Hamada. Penyakitnya bertambah parah dan menurut dokter  tidak ada harapan baginya untuk sembuh. Kabar tersebut tidak membuat  Sumi putus asa. Ia tetap bersemangat dan percaya kepada Yesus.  Sikapnya itu membuat setiap orang yang berada di rumah sakit menjadi  heran. Akibatnya, banyak pasien yang mampu berjalan, datang ke kamar  Sumi dan berbincang-bincang dengannya. Sumi menyaksikan Kristus  kepada mereka dan Injil pun tersebar di rumah sakit tersebut. Suatu  keajaiban terjadi di Hamada. Sumi yang sedang sakit parah membawa  tiga puluh orang yang belum percaya datang kepada Kristus. Beberapa  di antara mereka menjadi pelayan Tuhan sepenuh waktu dan meneruskan  apa yang telah dimulai oleh Sumi dari tempat tidurnya di rumah  sakit.

  Pada musim panas 1949, Sumi kembali ke Sawadani. Ia disambut hangat  oleh teman-temannya sesama Kristen. Ia akan tinggal di Sawadani  untuk mengabarkan Injil. Satu kerinduannya adalah memunyai gedung  gereja sendiri dan usul ini disetujui oleh setiap anggota. Untuk  mewujudkan hal tersebut, ia menyumbangkan delapan ribu yen guna  meyokong pembangunan gedung gereja. Meskipun para pendeta Budha  berusaha menghalangi upaya tersebut, namun pembangunan gereja itu  terus berjalan. Tahun 1951, segala keperluan untuk membangun gereja  telah tersedia dan pembangunan gereja segera dilaksanakan. Gereja  tersebut dibangun di atas bukit sehingga dapat terlihat dari  berbagai penjuru.

  Pada bulan Oktober 1952, Sumi mendapat pekerjaan sebagai perawat di  Oyama. Di tempat barunya ini, Sumi tetap bersaksi bahwa Kristus  datang untuk menolong dan menyelamatkan manusia. Setelah enam bulan  berada di Oyama, penyakitnya kambuh kembali dan sel kankernya telah  menyebar, bahkan menyerang organ tubuhnya yang lain. Namun,  penyakitnya tidak mematahkan semangatnya untuk tetap memberitakan  Injil. Pada bulan April 1953, Sumi mendapatkan perawatan di rumah  sakit -- penyakitnya sudah sangat parah. Tidak ada harapan baginya  untuk sembuh. Tekanan darahnya turun secara drastis dan daya tahan  tubuhnya semakin menurun. Berkat perawatan yang intensif, kondisi  Sumi mulai membaik dan ia diizinkan pulang. Pada tanggal 1 September  1953, Sumi menghadiri peresmian gereja di Sawadani dan ia bersyukur  karena akhirnya mereka memiliki gereja sendiri. Kondisi kesehatan   Sumi semakin memburuk. Kanker tersebut telah menjalar sampai ke  wajahnya, kerongkongannya membesar sehingga ia mengalami kesulitan  bernapas. Dokter pun sudah tidak dapat berbuat apa-apa.

  Pada suatu malam, tepatnya di bulan Desember, Sumi bergumul dengan  rasa sakitnya, napasnya seolah terhenti. Dengan tersenyum, ia  menutup matanya perlahan-lahan, pergi meninggalkan dunia yang fana  ini menuju ke rumah Bapa. Beberapa hari kemudian, ia dikuburkan di  lereng bukit -- menghadap ke arah gereja di Sawadani. Upacara  penguburan tersebut dihadiri oleh banyak orang. Di antara mereka,  hadir pula para pemuka desa Sawadani untuk memberikan penghormatan  dan penghargaan atas apa yang telah Sumi lakukan untuk Sawadani.  Sumi telah tiada, namun kematiannya membuktikan adanya kemenangan   dari Kristus -- adanya harapan menuju kehidupan kekal. Sungguh, di  sebuah desa di pegunungan Jepang telah dibangun gereja Tuhan. Telah  tiba waktunya dan nyata, bahwa yang telah dilakukan oleh Sumi di  Sawadani adalah "rumah emas, perak, batu yang indah" yang akan tetap  tinggal sampai selama-lamanya.

  Diringkas dari:
  Judul buku: Gadis Pejuang Iman
  Judul asli buku: Upon This Rock
  Penulis: Eric Gosden
  Penerjemah: Barus Siregar
  Penerbit: Badan Penerbit Kristen, 1965
  Halaman: 5 -- 88