Welcome

Bekerjalah Untuk Makanan Yang Tidak Dapat Binasa....!!!

Saturday 25 June 2011

AKHIR DARI SUATU PERJALANAN

AKHIR DARI SUATU PERJALANAN
by: Fernando Tambunan

Memikirkan tentang akhir dari suatu perjalanan hidup (kematian) adalah suatu hal yang seringkali dianggap menakutkan. Di satu sisi kita sependapat bahwa mereka yang memikirkan akhir hidupnya (baca: kematian) adalah mereka menyadari eksistensi diri, namun di sisi yang lain, Mungkin saja dalam ketakutannya tersebut manusia lalu terdorong untuk mengerjakan pekerjaan yang berarti, namun sekali lagi, ketakutan, bagaimanapun juga, tidak dapat dianggap sebagai kebajikan .

Lalu, apakah mereka yang tidak mempedulikan hari kematiannya, bersikap lebih bijaksana daripada mereka yang ketakutan dan terus-menerus memikir-kannya? Sama sekali tidak. Bahkan lebih parah daripada yang pertama. Kitab Suci mengatakan bahwa mereka yang tidak percaya adanya kehidupan setelah kematian, secara konsekuensi logis, boleh mengambil gaya hidup hedonisme dengan semboyannya yang terkenal “marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati” (I Kor 15:32). Kehidupan yang tidak pernah memikirkan keterbatasan kehidupan itu sendiri, akan cenderung membawa manusia untuk hidup mencari kepuasan pribadi. Kepuasan pribadi ini tidak harus selalu dinyatakan dalam gaya hidup pesta pora dan mabuk-mabukan, pergi ke pelacuran dan sebagainya. Pengejaran kepuasan serta kenikmatan pribadi ini mungkin saja mengambil bentuknya dalam kehidupan moral yang tinggi, suka menolong orang lain, menjadi seorang humanist, namun pada akar hatinya adalah mengejar kepuasan diri sendiri.

Daud berdoa kepada Tuhan agar ia diajar bahwa hidupnya memiliki sebuah akhir (Mazmur 39:5). Mengapa perlu diajar? Bukankah pengalaman dari sejarah, data empiris sudah dengan begitu gamblang menyatakan bahwa hidup manusia memang memiliki sebuah akhir? Adakah manusia yang begitu keras kepala menolak kenyataan bahwa hidup kita memang suatu saat akan berakhir? Tampaknya tidak banyak orang yang memiliki kenekadan seperti itu. Namun, sesungguhnya yang dimaksud oleh Daud adalah bahwa sekalipun manusia mengetahui bahwa hidupnya memiliki sebuah akhir, namun manusia menghidupinya seolah-olah tidak ada akhirnya. Tidak ada kepekaan akan waktu yang semakin singkat dalam hidup manusia. Dalam keadaan seperti inilah Daud memohon kepada Tuhan agar ia terus diajar bahwa hidupnya suatu saat akan berakhir. Waktu tidak selama-lamanya diberikan kepada manusia. Suatu saat ia harus mengakui, entah dengan rela atau tidak rela, bahwa ia adalah ciptaan yang terbatas, dan bahwa hidupnya tidak sepenuhnya berada dalam kekuasaannya sendiri, ia harus mempertanggung-jawabkan segala sesuatu yang telah dilakukannya selama hidupnya di hadapan Penciptanya. Tanpa pengertian ini (bukan sekedar pengetahuan!) manusia tidak mungkin memiliki tujuan hidup yang benar. Ia boleh memiliki tujuan hidup yang dianggapnya begitu pasti, dan mengejarnya dengan segala kekuatan self-determinasi, namun di hadapan Tuhan sesungguhnya semuanya hampa. Manusia melakukan hal-hal yang menimbulkan sesuatu yang tidak perlu, ia mengumpulkan dengan tidak mengetahui siapa yang kelak akan menikmatinya. Inilah paradoks hidup manusia yang hanya mengejar keuntungannya sendiri. Sesungguhnya, ia berjalan dalam kehidupan yang sangat tidak pasti!

Dalam kegalauan jiwanya, pemazmur belajar untuk tetap berharap kepada Tuhan (Mazmur 39: 8). Suatu pengharapan yang diteriakkan dari sebuah pengenalan diri serta kebutuhannya yang terdalam, yaitu agar Tuhan membebaskan dia dari segala dosa-dosanya. Kebanyakan manusia hidupnya tertekan karena sakit-penyakit, ekonomi tidak mapan, kurang berhasil dalam menjalin hubungan dengan sesama, study tidak lancar, masa depan tidak jelas dan lain sebagainya, namun berapa orang yang tertekan seperti Daud, menyadari bahwa problema terbesar dalam hidup manusia bukanlah hal-hal di atas, melainkan kehidupan yang berdosa. Berapa serius dosa di hadapan kita? Ini pertanyaan yang harus kita jawab!

Inilah cicipan kematian yang sesungguhnya: hidup dalam dosa. Para eksistensialist seringkali dikuasai oleh ketakutan untuk tidak lagi bereksistensi. Namun kita dapat memper-tanyakan “Apa itu eksistensi dan bagaimana bereksistensi?” Sesungguhnya ketika seseorang berbuat dosa, ia menghancurkan eksistensinya dalam pengertian yang paling dalam, karena eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang tidak mungkin tidak harus dikaitkan dengan hubungannya di hadapan Allah (entah hubungan dikasihi-mengasihi, atau menolak-dimurkai). Dengan berbuat dosa manusia merusak hubungannya dengan Allah. Semakin ia tidak suka berhubungan denganNya, semakin ia akan menghancurkan dirinya sendiri. Mari kita lihat dua pertanyaan pertama dalam Katekismus Heidelberg (1563) berbunyi demikian “Apakah satu-satunya penghiburan Saudara, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati?” Dijawab, “Bahwa aku, dengan tubuh dan jiwaku, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati (Rom 14:7-8.), bukan milikku (1Kor 6:19), melainkan milik Yesus Kristus, Juruselamatku yang setia (1Kor 3:23). Dengan darah-Nya yang tak ternilai harganya Dia telah melunasi seluruh utang dosaku (1Pet 1:18- 19) dan melepaskan aku dari segala kuasa iblis (1Yoh 3:8b). Dia juga memelihara aku (Yoh 6:39), sehingga tidak sehelai rambut pun jatuh dari kepalaku di luar kehendak Bapa yang ada di sorga (Mat 10:30), bahkan segala sesuatu harus berguna untuk keselamatanku (Rom 8:28). Karena itu juga, oleh Roh-Nya yang Kudus, Dia memberiku kepastian mengenai hidup yang kekal (2Ko 1:22), dan menjadikan aku sungguh-sungguh rela dan siap untuk selanjutnya mengabdi kepada-Nya (Rom 8:14).” Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan kedua berbunyi,: Berapa pokok yang perlu Saudara ketahui, supaya dengan penghiburan ini Saudara hidup dan mati dengan bahagia?” Dijawab,: “Tiga pokok (Maz 130:3-4). Pertama. betapa besarnya dosa dan sengsaraku (Rom 7:24-25). Kedua, bagaimana aku mendapat kelepasan dari semua dosa dan sengsaraku (Mat 11:28). Ketiga, bagaimana aku harus bersyukur kepada Allah atas kelepasan yang demikian itu (Kol 1:12.)”. Menjadi milik Allah (dan bukan milik sendiri) adalah penghiburan yang terbesar. Alangkah celakanya jika manusia justru berpikir sebaliknya! Perhatikan saja, di manakah ada manusia yang dengan segala keperkasaan yang ada padanya sanggup menguasai maut sehingga ia tidak harus mengalaminya? Jika tidak ada, mengapa banyak orang enggan untuk menyerahkan sepenuhnya hidupnya (dan bukan hanya kematian yang tidak sanggup dikuasainya). Ketidak-berdayaan manusia dalam menghadapi kematian sebenarnya hanya menyatakan hal yang sama terhadap kehidupan.

Biasanya orang-orang percaya didalam perjalanan hidupnya setiap waktu selalu merenungkan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Ia sendiri mati, sama seperti semua manusia yang lain, namun berbeda dari mereka semua, karena Ia sanggup mengalahkan kuasa kematian. Dan Ia berjanji untuk memberikan kehidupan yang kekal bagi mereka yang percaya dalam namaNya. Orang percaya akan tetap mengalami kematian (kecuali Tuhan telah datang kembali sebelum hari kematiannya). Namun ia tidak akan selama-lamanya binasa, bersama dengan Tuhan ia akan dibangkitkan untuk menerima kehidupan kekal di sorga. Dan bukan hanya itu, mereka yang percaya dalam namaNya juga diberi kuasa untuk hidup mati terhadap dosa, terhadap dunia, bahkan terhadap diri sendiri. Kematian ini adalah kematian yang menghidupkan. Sebaliknya, penolakan terhadap kematian ini akan membawa kepada kebinasaan kekal, kematian yang sesung-guhnya. Yesus Kristus mengatakan “Barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya” (Luk 9:24). Menyelamatkan hidup justru akan kehilangan hidup, sebaliknya mengorbankannya adalah menyelamatkannya.

Kematian Kristus memberikan kemungkinan kepada manusia untuk tidak hidup bagi dirinya sendiri. Sekalipun Ia tidak berdosa dan tidak harus mengalami maut, namun Ia rela mati karena dosa-dosa umat manusia. KematianNya merupakan penyataan puncak ketaatanNya yang sempurna kepada Allah, tidak ada suatu pun yang Dia pertahankan bagi diriNya sendiri. Ia telah menyerahkan segala sesuatu yang dapat diberikan, bahkan nyawaNya sendiri. Kematian inilah yang mendahului kebangkitan dan hidup.
Begitu banyak orang percaya yang kehidupannya tidak berada dalam kepenuhan kuasa kebangkitan, karena menolak kuasa kematian yang harus bekerja terlebih dahulu. Tanpa kematian terhadap diri kita sendiri, tidak ada gunanya untuk mengharapkan pekerjaan kuasaNya yang dahsyat. Pergumulan kita lebih merupakan pergumulan untuk suatu kehidupan yang menyangkal diri, daripada kehidupan yang mendapatkan kuasa Tuhan. Persekutuan dalam penderitaan Kristus, demikianlah yang terus dikejar oleh Paulus, dan dia tidak berpendapat telah mem-perolehnya, maksudnya perjalanan yang harus ditempuh masih merupakan suatu proses yang panjang, dia tidak berhenti bergumul untuk mengejar panggilan Tuhan. Saya percaya setiap orang yang membaca tulisan ini, atasnya Tuhan memiliki suatu rencana. Rencana itu tersembunyi, kita bahkan tidak berhak untuk mengetahuinya, namun ada satu hal yang kita boleh, bahkan harus mengetahuinya, yaitu bahwa Tuhan menghendaki kita untuk mati dan disalibkan bersama-sama dengan Dia, dengan demikian kita akan hidup bersama-sama dengan Dia kelak selama-lamanya Di sinilah letak kepenuhan hidup yang sesungguhnya. Karena itu sebelum perjalanan hidupmu berakhir, bagi Saudara yang belum percaya dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatmu secara pribadi jangan tunggu lagi inilah waktunya akui segala dosamu dan percayakan hidupmu kepada Kristus, bagi Saudara yang sudah mengaku percaya mari tetap hidup taat, setia dan memberikan seluruh hidup kita bagi-Nya. Amin, Soli Deo Gloria..!!