PELAYANAN SOSIAL GEREJA
MATIUS 25:31-46
PENDAHULUAN
Perikop ini seringkali dijadikan landasan atau dasar rujukan dalam mengingatkan dan mendorong orang kristen untuk melaksanakan perintah agung Tuhan Yesus yang kedua yakni mengasihi sesama manusia (Mat. 22:39).
Penafsiran bahwa orang akan diselamatkan oleh perbuatan-perbuatan baik yaitu mereka yang oleh belas kasihan manusiawi, memberi makan bagi yang lapar, memberi pakaian bagi yang telanjang, mengunjungi yang sakit dan terpenjara adalah orang-orang "Kristen tak-sadar". "Saudara" Yesus Kristus adalah semua orang yang dalam kebutuhan. Orang-orang yang di dalam kasih, melayani kebutuhan orang-orang yang menderita, adalah menyatakan kasih Kristus, yang walaupun mereka belum pernah mendengar tentang Kristus, mereka akan mewarisi hidup kekal pada hari penghakiman sebagai pahala atas perbuatan-perbuatan mereka yang baik.
Namun kalau dibaca sesuai dengan konteksnya bagian ini sebenarnya berbicara tentang penghakiman terakhir, bukan berbicara tentang implikasi sosial. Hal ini perlu ditekankan agar jangan sampai menafsirkan bagian ini keluar dari konteksnya dengan menyatakan bahwa manusia diselamatkan karena perbuatan baik mereka. Jadi perlu diperhatikan perbuatan baik yang dimaksudkan dalam perikop ini adalah perbuatan baik orang-orang yang sudah percaya. Yesus sama sekali tak menyebut‑nyebut tentang perbuatan baik orang yang tidak percaya. Jelas bahwa mereka memang tidak mempunyai perbuatan baik barang satupun. Ini sesuai dengan penggambaran orang berdosa dalam Rom 3:10‑18! Mengapa mereka dianggap sama sekali tidak mempunyai perbuatan baik? Karena perbuatan baik baru dianggap baik di hadapan Tuhan kalau perbuatan baik itu dilakukan karena cinta kepada Tuhan (Yoh 14:15), dan dilakukan demi kemuliaan Tuhan (1Kor 10:31). Orang yang tidak percaya tidak mungkin bisa melakukan perbuatan baik yang memenuhi kedua syarat ini, dan ‘perbuatan baik’ yang dilakukan tanpa memenuhi 2 syarat itu, merupakan perbuatan baik yang dilakukan tanpa mempedulikan Tuhan, dan ini jelas bukan perbuatan baik!
Berangkat dari asumsi tersebut maka saya menjelaskan visi yang terkandung dalam perikop ini, yaitu sebagai perbuatan baik dalam konteks orang-orang yang percaya kepada Yesus, dan tidak berhubungan dengan keselamatan karena perbuatan baik.
PENJELASAN
Bagian ini menekankan bahwa Injil selalu berkaitan dengan berbagai implikasi sosial. Dengan demikian, orang percaya mempunyai kewajiban untuk menunjukkan kepedulian sosialnya terhadap kaum yang kurang beruntung secara sosial dan ekonomi. Mereka yang berstatus sosial rendah karena dibelenggu oleh kemiskinan, berpendidikan minim sebab tidak ada biaya untuk membayar uang sekolah, kekurangan makanan dan minuman, yang hidup di gubuk reyot atau tuna wisma, menjadi pengangguran karena tidak ada kesempatan kerja, dan berbagai kondisi sosial mengenaskan lainnya adalah objek yang patut untuk merasakan kehangatan kasih kristiani secara konkret. Di manakah mereka? Ada dekat di sekitar kita! Namun kerapkali terlupakan dan terlewatkan oleh lawatan kasih para pengikut Kristus.
Secara lebih spesifik, ayat yang dipakai untuk menggugah kesadaran sosial dan mengetuk pintu nurani orang kristen supaya tergerak melakukan tindakan kasih ialah ayat 40 yang berbunyi, “...sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (lihat juga ayat 45). Perkataan Kristus inilah yang menjadi titik tolak lahirnya penafsiran dari perspektif sosial. Di sini terbaca dengan jelas bahwa Tuhan Yesus mengidentikkan diri-Nya dengan mereka yang dililit oleh kekurangan. Bahkan realita yang lebih menggetarkan hati adalah kaum miskin ini telah diterima dan diakui sebagai saudara oleh Kristus sendiri.(3) Pada saat sekarang ini, Tuhan Yesus adalah satu pribadi yang tidak terlihat secara lahiriah oleh mata jasmani kita. Tetapi itu tidak berarti Ia absen dalam dunia ini. Kristus tetap hadir, dan terlebih penting lagi Ia telah menampilkan kehadiran-Nya di dalam dan melalui keberadaan rakyat jelata yang hidupnya jauh berada di bawah garis kecukupan.
Dengan jiwa yang dipenuhi oleh luapan pergolakan simpati sosial, Tuhan Yesus dapat merasakan kelaparan dan kehausan tatkala orang miskin menderita kekurangan makanan dan minuman untuk mempertahankan hidup mereka. Kristus menjadi orang asing yang tidak memiliki tempat berteduh dalam diri mereka yang tuna wisma. Ia juga menggigil kedinginan di tengah mereka yang tidak mempunyai selembar baju untuk menutupi ketelanjangannya. Yesus mengerang kesakitan di antara pribadi-pribadi yang sedang sekarat di rumah sakit atau tempat-tempat lainnya. Ia juga mengalami kesendirian yang sepi dan kesepian yang tersendiri pada diri orang-orang yang terhukum dalam penjara pengap karena ketidakadilan. Kenyataan pahit dan memilukan hati inilah yang dirasakan oleh Kristus dalam pengalaman pengidentikkan diri-Nya dengan golongan papah. Nyatalah bahwa Ia tidak hanya berkenosis untuk tujuan soteriologis melainkan juga demi untuk misi sosial, yaitu keberpihakan pada golongan yang diremehkan oleh dunia.
Ayat-ayat dalam perikop ini, khususnya ayat 40 dan 45, nampaknya memiliki daya dorong psikologis yang kuat untuk menggedor pintu hati orang Kristen agar terbuka, berkomitmen dan terlibat dalam tindakan nyata yang dapat meningkatkan harkat dan martabat kaum prasejahtera melalui perbaikan kondisi kehidupan mereka (pengentasan kemiskinan). Jika orang miskin yang hina karena berada pada posisi terendah menurut skala sosial masyarakat adalah saudara-Nya Kristus dan Ia menjadi akrab dengan pergumulan dan penderitaan mereka, apakah realita ini tidak cukup keras berbicara untuk membuat hati kita tersentuh dan mau berbuat sesuatu yang terbaik bagi-Nya?
Siapakah Kristus? Dia adalah Allah, satu pribadi yang maha mulia, di mana segala sujud penyembahan kita tertuju pada-Nya. Ia adalah Juru Selamat yang telah berkorban demikian luar biasa demi untuk menyelamatkan kita dari kebinasaan kekal. Dia adalah Tuan yang sudah menebus kita dengan darah-Nya yang mahal tak ternilai harganya. Namun, sekarang ini, di tengah percaturan dunia ini, Kristus yang adalah Allah, Juru Selamat dan Tuan kita sedang turut menderita melalui kesengsaraan mereka yang serba kekurangan. Hati-Nya diliputi oleh kepedihan melihat kenyataan betapa luasnya petaka kemiskinan telah mendominasi kehidupan umat manusia.
Benarkah kita sungguh-sungguh mengasihi Kristus? Kalau kita mengasihi Dia dengan segenap hati dan sepenuh jiwa, maka, akankah Dia dibiarkan menderita kelaparan dan kehausan? Masakan kita menelantarkan-Nya sebagai orang asing yang tidak punya tempat tinggal? Tegakah kita melihat-Nya gemetar kedinginan karena tidak berpakaian? Tidakkah kita akan melawat-Nya dengan pelayanan yang sebaik-baiknya? Seorang pengikut Kristus sejati pastilah memiliki kerinduan jiwa yang kuat untuk berusaha secara maksimal melakukan hal-hal yang terbaik dalam menyenangkan hati-Nya. Bagaimana caranya? Dengan menunjukkan kasih terhadap saudara-Nya, yakni orang-orang miskin. Karena, melalui kenosis sosial-Nya, maka semua tindakan, perhatian dan kepedulian kita terhadap orang miskin pada hakikatnya adalah “…kamu telah melakukannya untuk Aku,” demikian kata Kristus. Namun, saat ini masalah kemiskinan tetap menjadi fakta yang menyolok dalam realita kehidupan.
APLIKASI
Hidup miskin bukan cita-cita tetapi dampak atau akibat kondisi ketidakadilan dan ketidakbenaran. Karena itu gereja tidak boleh menutup mata terhadap orang miskin. Justru panggilan gereja adalah terlibat secara aktif dalam memerangi kemiskinan dan ketidakadilan. Orang miskin berarti orang yang berkekurangan, tidak memiliki kemampuan untuk memberdayakan dirinya, dan orang yang lemah. Gereja harus menjadi pelaku pertama dalam mengentaskan kemiskinan. Gereja yang berbasis spritual dan sosial harus peduli pada pelayanan sosial. Program gereja baik di kota dan di desa harus menyentuh kehidupan jemaat secara menyeluruh mencapai kesejahteraan sosialnya.
Karena itu panggilan gereja adalah untuk menyuarakan ketidakadilan dan penindasan hak-hak orang miskin. Gereja hadir untuk berpihak kepada yang lemah, yang tidak berdaya, yang miskin, dan yang terpinggirkan. Jika gereja tidak memiliki keperpihakan kepada yang lemah, maka kehadiran gereja tidak memiliki makna. Kemiskinan harus ditanggulangi supaya manusia mendapatkan keadilan, harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Jemaat-jemaat gereja harus didorong dan diajar supaya memiliki kepedulian dan kesetiakawanan terhadap orang-orang miskin. Upaya ini bisa dilakukan dengan memberdayakan jemaat untuk saling membantu dan memperhatikan keadaan ekonomi anggota jemaat dan masyarakat lingkungan sekitar mereka yang mengalami dan merasakan kemiskinan itu.
Program diakonia gereja juga harus mampu mendorong jemaat untuk memiliki belas kasihan terhadap penderitaan dan kemiskinan orang lain. Sehingga jemaat terdorong untuk memikirkan upaya pemberdayaan masyarakat miskin di masyarakat. Solidaritas gereja kepada kemiskinan selama ini hanya terwujud dalam berbagai program diakonia yang bersifat karikatif. Tidak pernah ada upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk memerangi kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat. Apakah karena gereja sering tidak bersedia merepotkan diri untuk urusan kemiskinan? Melihat kemiskinan di sekitar kita, gereja harus bersedia.
Jemaat gereja harus didorong untuk hidup dalam kesederhanaan, sebagai wujud rasa solidaritas gereja kepada orang-orang miskin yang masih belum terentaskan di Indonesia ini. Kesederhanaan itu berarti pula gereja melakukan kritik internal secara terus menerus terhadap berbagai aktivitas dan pelayanannya yang hanya menonjolkan kemeriahan, namun tidak memiliki dampak kepada perubahan sikap dan sensivitas jemaat kepada berbagai persoalan kemiskinan di masyarakat. Dalam mengatasi persoalan kemiskinan yang sedemikian kompleks dan besar, maka gereja perlu secara proaktif dan rendah diri bersedia bekerja sama dengan umat beragama lainnya untuk menanggulangi kemiskinan. Ini penting agar kehadiran gereja menjunjung harkat dan martabat manusia tanpa membedakan suku, agama dan ras. Inilah panggilan gereja yang utama.
Namun di saat yang sama, gereja perlu terus menerus menyuarakan kritik profetisnya tanpa pandang bulu terhadap berbagai penyalahgunaan kekuasaan, terjadinya ketidakadilan, terampasnya hak-hak masyarakat, dan terhadap sistim yang menindas dan memiskinkan manusia
Spiritualitas dan religiusitas jemaat gereja juga harus sampai kepada sebuah kesalehan sosial, dimana energi spiritual yang dimiliki jemaat mampu untuk mendorong kepedulian jemaat akan berbagai persoalan kehidupan masyarakat. Spiritualitas seperti inilah yang harus menjadi perhatian gereja dalam membangun kehidupan jemaat. Salib harus dipahami sebagai refleksi atas penderitaan dan kematian Kristus, namun disaat yang sama pula harus mampu membuka mata dan telinga kita akan penderitaan, kesengsaraan, dan pengharapan manusia akan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Disitulah gereja berperan.
PENUTUP
Akhirnya penghargaan yang diberikan Raja kepada mereka yang melakukan perbuatan baik, bukan karena motivasi untuk mendapatkan pahala. Bahkan mereka melakukan semua itu karena kasih tanpa pamrih. Mereka melakukan kepada orang-orang yang paling hina tanpa memikirkan untuk keuntungan atau kemuliaan diri. Akan tetapi mereka rela berkorban, rela berbagi harta, terbuka melihat kesulitan dan kekurangan orang lain, dan tidak berpusat pada kebutuhan sendiri tetapi peka terhadap kebutuhan yang lain. Hati dan sikap ini jelas tidak akan dimiliki mereka yang tidak mempunyai kasih Allah. Suatu hari kelak bila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya, Ia akan datang sebagai Raja yang adil. Ia akan memisahkan bangsa-bangsa menjadi dua golongan seperti gembala yang memisahkan domba dan kambing. Domba diberi hak masuk ke dalam kemuliaan Sang Raja sedang kambing dimasukkan ke dalam siksaan kekal. Raja yang adil memperhatikan pola dan gaya hidup para murid-Nya selama di bumi ini. Penggambaran tentang apa yang akan terjadi kelak di hadapan takhta kemuliaan Raja hendaknya menjadi pelajaran yang perlu kita camkan dan lakukan. Perhatian, bantuan, pemberian tidak kita arahkan kepada orang yang dapat membalas kebaikan kita; justru kepada yang paling hina, kepada yang tidak dapat membalas, kepada yang paling membutuhkan. Itu pun kita lakukan bukan untuk menumpuk pahala dalam Kerajaan Allah tetapi dalam ketulusan, kerendahan hati, dan tidak bermotivasi keuntungan atau kemuliaan diri. Berdasar firman Tuhan ini marilah kita memeriksa diri, motivasi apakah yang mendorong kita berbuat baik kepada sesama. Kepada siapakah kita biasanya memberikan bantuan dan pertolongan, yang bisa membalas kebaikan kita ataukah kepada yang paling membutuhkan pertolongan tanpa dapat membalas jasa.