Welcome

Bekerjalah Untuk Makanan Yang Tidak Dapat Binasa....!!!

Tuesday 21 June 2011

DISIPLIN


DISIPLIN
Oleh: Fernando Tambunan,ST., M.Th©
Disampaikan pada Ibadah Persekutuan Akhir Pekan
Departemen Pelayanan Pemuda-Mahasiswa YPDPA Sumut
Sabtu, 22 Mei 2010

I. Pendahuluan                           
Jika kita mendengar istilah “disiplin” seringkali yang terlintas dalam benak kita adalah gambaran-gambaran negatif, misalnya: hukuman, tuntutan, perintah yang harus ditaati atau paksaan/tekanan untuk melakukan sesuatu.  Tidak jarang ada sebagian orang tertentu merasa “disiplin” sebagai momok namun terpaksa ditaati supaya tidak terjadi konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan.  Plato sebagai seorang ahli filsafat mengatakan, Kemenangan yang pertama dan yang terbaik adalah menaklukkan diri sendiri. Ya, menaklukkan diri sendiri boleh dikata adalah hal yang paling sulit dilakukan, untuk mampu menaklukkan diri sendiri diperlukan suatu ‘disiplin’ yang sangat tinggi.

Apakah disiplin adalah sesuatu yang bersifat memaksa seseorang?  Atau sebaliknya apakah disiplin adalah bagian yang menyenangkan bagi seorang murid yang hendak bertumbuh? Apa pentingya disiplin dalam kehidupan seorang murid Kristus?

II. Pengertian Disiplin

A. Pengertian Umum
Menurut ‘Om Wiki’ (Wikipedia) , disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya, termasuk melakukan pekerjaan tertentu yang dirasakan menjadi tanggung jawab. Intinya, disiplin bukan hanya diartikan sebagai taat terhadap peraturan, tapi juga terhadap waktu, pada jadwal, maupun bertanggung jawab terhadap uang.

Sedangkan pengertian lain mengatakan bahwa kata ‘disiplin’ berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata yang berarti ”menggenggam” atau ”memegang erat”. Kata ini sesungguhnya menjelaskan orang yang bersedia menggenggam hidupnya dan mengendalikan seluruh bidang kehidupan yang membawanya kepada kesuksesan atau kegagalan.

B. Pengertian Dalam Alkitab
            Dalam PL, kata yang dipakai untuk menerangkan disiplin adalah rsy = ysr (baca: yasar).  Kata ini mengalami pergeseran arti dari admonish (mis: Mzm. 94:10, LAI: menghajar; Ams. 9:7, LAI: mendidik), dan discipline (mis: Ul. 4:36, LAI: mengajar; Ams. 3:11, LAI: didikan), menjadi chastise atau menghukum untuk kebaikan (mis: Im. 26:18, 28; Ams. 19:18).  Kata disiplin juga dikaitkan dengan kata benda rs:åWm (mûsar)  yang digunakan dalam konteks mengkoreksi (Ams. 15:33, NASB: instruction) yang akan memimpin kepada hikmat dan didikan.  Pendisiplinan seorang anak oleh ayahnya memberikan suatu analogi bagi pendisiplinan umat perjanjiannya (Ul. 8:5; Ams. 3:11-12; cf. Ibr.12:4-11). 
Dalam PB, kata kerja yang digunakan paideu,w (baca:paideua)  dan kata benda paideia memiliki kesamaan dalam pergeseran arti seperti ysr dan mûsar.  “Dan Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir . . .” (Kis. 7:22) dan “. . . Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar (didisiplin)  oleh ayahnya?” (Ibr. 12:7).  Kata paideua juga digunakan dalam konteks disiplin ilahi (Ibr. 12:6).

Istilah disiplin telah diterapkan dalam bidang keagamaan sejak permulaan sejarah manusia yang ditemukan dalam Yudaisme maupun Kekristenan.  Seorang pengikut Kristus biasanya dipanggil disciple (murid), yang berarti di dalam hidupnya mencakup disciplines dalam menjalankan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus (Flp. 3:9). 

Jadi kata disiplin (Ing. discipline) memiliki akar kata yang sama dengan murid (Ing. disciple), yang artinya adalah “kesediaan untuk diajar atau dilatih sehingga menghasilkan keteraturan, ketaatan, dan pengendalian-diri”.  

Alkitab memberikan banyak contoh kehidupan orang yang berdisiplin, seperti: Musa, Yosua, Daud, Nehemia, Paulus, dan Yesus Kristus sendiri.

C. Disiplin dan Rutinitas

Beda disiplin dan rutinitas
         Ada beberapa perbedaan yang mendasar antara rutinitas dan disiplin. Meskipun keduanya sangat penting bagi kehidupan, namun keduanya tidaklah sama. Karena alasan itulah, maka menjaga kedisiplinan agar tidak berubah menjadi suatu rutinitas sangatlah penting. Hal ini juga penting dalam kehidupan rohani kita, karena banyak sekali pengikut Kristus yang telah mengubah anugerah disiplin, yang diberikan Allah untuk membantu kita bertumbuh di dalam Dia, menjadi aktivitas-aktivitas rutin yang sama sekali tidak memiliki kuasa untuk mengubah kehidupan.

         Rutinitas adalah sesuatu yang kita lakukan untuk menjaga status quo, seperti menyikat gigi dan bersiap-siap untuk berangkat bekerja, mengganti oli mobil, mengunci pintu, mematikan lampu sebelum tidur, mengatur tempat tidur setiap pagi, dan lain-lain. Rutinitas-rutinitas ini menempati posisi penting dalam kehidupan kita, namun rutinitas-rutinitas ini tidak mengubah atau meningkatkan apa pun. Rutinitas hanya menjaga agar kita tetap berada pada tingkat tertentu, sehingga menolong semua sistem hidup kita berfungsi dengan normal.

         Rutinitas tidak membutuhkan banyak usaha keras. Kita tidak perlu bersusah payah untuk melakukannya. Bahkan, mungkin kita melakukan rutinitas tanpa kita sadari -- seperti membawa kendaraan menuju kampus / tempat kerja atau membuang sampah -- tanpa ada energi atau usaha tambahan sama sekali.  Selain itu, rutinitas hanya membutuhkan sedikit pemikiran. Mengerjakan rutinitas tidak memerlukan perencanaan, tidak membutuhkan pengawasan yang serius atau evaluasi, dan dilakukan sepanjang waktu tanpa perlu pemikiran. Malah, ketika kita sedang melakukan rutinitas, kita menggunakan pikiran kita untuk memikirkan hal-hal lain. Hal ini sama seperti ketika seseorang mendengarkan radio sambil mempersiapkan diri untuk berangkat bekerja atau sambil menyetir kendaraan ke kantor.
         Rutinitas hanya membutuhkan sedikit waktu dan sedikit ketidaknyamanan, yang mana sebenarnya kita rela memberikannya karena kita telah mendapatkan keuntungan dari memeliharanya setiap hari. Rutinitas juga jarang diubah. Kita setiap hari selalu berangkat kerja melewati jalan-jalan yang sama, melakukan persiapan kerja dengan mengikuti urutan yang sama atau membersihkan dapur setelah makan dengan cara yang sama.

         Kita tidak merasa perlu untuk mengubah rutinitas, sehingga kita terus mengikutinya tanpa banyak berpikir atau menyesuaikan diri dari hari ke hari, dari tahun ke tahun. Rutinitas tersebut baik bagi kita, karena membuat kita tetap berada pada posisi status quo dalam beragam bidang kehidupan kita, namun sebenarnya rutinitas tidak membuat kita berkembang di bidang-bidang kehidupan tersebut.

         Sedangkan disiplin berbeda. Disiplin adalah sesuatu yang kita lakukan dengan tujuan agar terjadi perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Dallas Willard: "Disiplin adalah setiap aktivitas yang ada di bawah kuasa kita untuk kita lakukan, yang memampukan kita untuk melakukan apa yang tidak dapat kita lakukan tanpa "usaha terarah". Misalnya, menurunkan berat badan atau membentuk tubuh (sehingga kita tampil dan merasa lebih baik dan berumur lebih panjang); atau belajar ketrampilan baru dalam pekerjaan (sehingga kita bisa mendapatkan promosi atau naik posisi). Kita tidak bisa membuat diri kita merasa lebih baik, dan kita tidak bisa mendapatkan promosi atau naik posisi hanya dengan usaha biasa. Jadi, kita harus melakukan disiplin-disiplin tertentu yang kita percaya bisa memampukan kita untuk mencapai target yang kita inginkan
tersebut -- hal-hal yang tidak dapat segera kita peroleh hanya dengan kekuatan biasa saja."

         Kedisiplinan bisa menyedot usaha yang besar. Kita memaksa tubuh kita untuk naik ke level yang lebih tinggi melalui latihan setiap hari; atau kita meluaskan wawasan pikiran kita ke arah yang baru untuk memahami prosedur-prosedur baru atau menguasai teknologi baru. Kita memaksa otak dan tubuh kita untuk melakukan aktivitas yang terfokus dan sungguh-sungguh untuk mempersiapkan diri menerima peran dan tanggung jawab baru atau menjalani gaya hidup baru yang diinginkan. Disiplin yang baik membutuhkan keterlibatan intelektual yang serius -- yaitu membuat rencana, mengawasi kemajuan, mengevaluasi tingkat- tingkat penguasaan, dan lain sebagainya.

         Lebih jauh lagi, disiplin cenderung melibatkan investasi waktu yang sangat besar. Untuk melakukan disiplin-disiplin tersebut kita harus mengorbankan aktivitas-aktivitas lain yang mungkin sebenarnya lebih kita sukai dan kita sungguh-sungguh akan mengkonsentrasikan waktu dan usaha agar bisa menguasai disiplin-disiplin tersebut karena kita yakin usaha tersebut dapat memberikan apa yang kita inginkan. Kita harus mau mengorbankan sesuatu yang kita senangi -- makanan, aktivitas-aktivitas di waktu luang, atau istirahat -- agar kita dapat mencurahkan waktu dan usaha yang diperlukan, misalnya untuk membentuk tubuh yang lebih sehat, menjadi karyawan yang lebih baik, atau menyiapkan diri untuk memperoleh pekerjaan baru. Disiplin cenderung perlu penyesuaian dari waktu ke waktu. Ketika kita telah mencapai satu tingkat tertentu atau penguasaan suatu hal, kita bisa mengubah disiplin-disiplin yang kita targetkan untuk mendorong kita mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi.

         Baik rutinitas maupun kedisiplinan, keduanya sangat penting dalam hidup kita. Namun, dua hal itu jelas tidak sama. Permasalahan timbul ketika kita mengizinkan hal yang disiplin menjadi semacam rutinitas saja. Ketika hal itu terjadi, maka disiplin yang kita terapkan, tidak hanya tidak menghasilkan apa yang kita inginkan tapi juga membuat disiplin menjadi sesuatu yang berat, menjengkelkan dan membosankan. Kita mungkin setia melakukan disiplin tersebut, namun tidak dengan cara sebagaimana seharusnya disiplin itu dirancang dan tentu saja, tidak banyak hasil yang diperoleh dari usaha yang kita lakukan itu.

         Masalah ini menjadi hal yang serius, khususnya dalam area kehidupan rohani, yaitu ketika mempraktikkan anugerah disiplin, kita izinkan menjadi sesuatu yang tidak lebih dari sekedar rutinitas rohani belaka.

         Allah memberikan kita anugerah disiplin (disiplin rohani) sebagai cara untuk menolong kita bertumbuh dalam kasih kepada-Nya dan kepada sesama kita. Sarana-sarana yang berharga ini -- doa, Firman Tuhan, penyembahan, waktu sendiri bersama Tuhan (solitude), memberi persembahan, berpuasa, diam di hadirat Tuhan, dan lain-lain – membawa kita masuk ke dalam hadirat-Nya, dengan cara yang tidak bisa didapatkan hanya dari kegiatan sehari-hari. Disiplin-disiplin ini akan memampukan kita untuk melihat sekilas kemuliaan-Nya dan masuk ke dalam kuasa-Nya yang dapat memberi pembaharuan hidup setiap hari dalam Yesus Kristus. Namun, ketika praktik disiplin rohani diizinkan berubah menjadi aktivitas-aktivitas rutin saja -- maka disiplin rohani itu kehilangan kuasanya untuk membawa kita bertatap muka dengan Tuhan dalam cara-cara yang mentransformasi hidup.

            Pada zaman Yesus hidup di dunia, tidak ada kelompok lain yang dikenal lebih disiplin selain para pemimpin agama Yahudi. Semua orang zaman itu mengenal mereka sebagai orang yang paling banyak berdoa, paling mengenal Alkitab, paling setia berpuasa, dan paling sering memberi sedekah kepada orang miskin. Beberapa diantara mereka sangat sungguh-sungguh, misalnya Zakharia dan Nikodemus. Namun, sebagian besar diantara mereka tidaklah demikian. Disiplin-disiplin rohani yang mereka lakukan tidak mampu mempersiapkan hati mereka untuk menyambut kedatangan Mesias dan tidak mampu membuat mereka mengenali Yesus saat Dia muncul di tengah-tengah mereka untuk mengajar dan melakukan hal-hal yang baik. Praktik disiplin rohani yang mereka lakukan, tidak membantu mereka bertumbuh dalam kasih, baik kepada Tuhan maupun sesama. Banyak diantara mereka malah menjadi sombong, serakah,
mengabaikan orang banyak dan sangat melindungi status istimewa mereka di mata masyarakat. Mereka melihat Yesus sebagai ancaman dan setelah tiga tahun mengawasinya, maka kemudian mereka bersekongkol merencanakan pembunuhan terhadap Dia.

         Semua disiplin rohani orang-orang Farisi tidak berguna untuk menolong mereka mengalami kemuliaan Tuhan dan masuk ke dalam anugerah-Nya. Mereka menjalankan praktik disiplin rohani hanya untuk menjaga status mereka di masyarakat dan bukan supaya mereka bertumbuh dalam anugerah dan pengetahuan akan Tuhan. Disiplin rohani mereka telah menjadi rutinitas, yang hanya memberikan kepuasan diri yang besar dan membuat status mereka terlindungi di mata orang banyak. Namun, kehidupan
rohani mereka kosong dan tidak mendapatkan persekutuan yang sungguh-sungguh dengan Tuhan. Mereka telah menjadi "kuburan yang dilabur putih", seperti yang diamati Yesus -- mereka memuaskan diri sendiri, membenarkan diri sendiri, bangga terhadap diri sendiri, dan congkak.

         Sebelum kehidupan rohani kita berubah ke arah kondisi seperti itu, dan kita menjadi negatif dan suka menghakimi, kurang mengasihi dan tidak memiliki semangat untuk hidup dalam iman atau melakukan misi Yesus, maka kita perlu mempertimbangkan, apakah praktik disiplin rohani kita benar-benar sesuai dengan yang Tuhan inginkan dan rencanakan.


III. Pentingnya Disiplin
“Pahlawan sejati adalah mereka yang berhasil menaklukkan diri sendiri.” Pahlawan-pahlawan sedemikianlah yang kita butuhkan kini untuk meneruskan perjuangan para pahlawan kita dulu. Bukankah para pahlawan kita layak disebut pahlawan, karena mengobarkan sikap mental kepahlawanan: berani berkorban, pantang menyerah, berani memperjuangkan kebenaran?

Mentalitas kepahlawanan, agaknya meluntur sudah kini. Salah satu yang langka dijumpai adalah disiplin. Padahal ketidakdisiplinan merusak dan menghancurkan. Tidak disiplin dalam berlalu lintas, terjadi kekacauan. Tidak disiplin berbicara, jadilah ketegangan sosial. Tidak disiplin waktu, semangat kerja merosot. Tidak disiplin dalam kebersihan, rusaklah lingkungan hidup. Pokoknya, tidak disiplin membuat pemborosan dan penyia-nyiaan potensi yang ada.

Kalau kita perhatikan, ada orang-orang yang sukses dalam banyak hal. Mereka sukses dalam karier, sukses dalam berumah tangga, sukses dalam pelayanan. Kesehatan tubuhnya juga baik. Jika kita teliti orang-orang seperti ini, maka kita akan menemukan ada sebuah kesamaan yang membuat mereka berhasil, yakni mereka disiplin.

Sebaliknya ada orang-orang yang serba gagal. Gagal dalam pekerjaan, gagal dalam berkeluarga, gagal dalam kesehatan. Dan kalau kita teliti orang –orang itu, maka ada juga sebuah kesamaan, yakni tidak mereka mengabaikan disiplin. Pasti ada yang berkata:’ yah..saya memang membiarkan segalanya merosot sih………saya sering menunda-nuda pekerjaan, ………saya kalau bersenang-senang tidak tahu waktu berhenti,……….sampai mengabaikan pekerjaan. Saya kurang disiplin berolah raga sehingga saya sakit-sakitan. Kurang disiplin makan buah atau sayuran. ……..Saya tidak melewatkan waktu bersama keluarga. Semua itu berakar oada kurangnya disiplin.

Disiplin adalah latihan untuk menghasilkan sikap atau pola tingkah tertentu. Disiplin adalah tindakan-tindakan terkendali yang muncul sebagai akibat adanya tempaan. Inti dari disiplin ialah penaklukkan diri kepada aturan. Untuk orang percaya, disiplin adalah bukti konkret ketaatan kita kepada Allah dan firman-Nya, bukti kasih kita sebagai murid-Nya.

Disiplin juga adalah salah satu rahasia Paulus dipakai Tuhan (1Kor. 9:24-27). 
1 Korintus 9:24-27
9:24 Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya!
9:25 Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi.
9:26 Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul.
9:27 Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.

Para pesaing dalam pertandingan zaman dahulu, setelah mereka melakukan penyangkalan diri dan disiplin yang ketat, tidak selamanya dipastikan akan memperoleh kemenangan. Hadiah hanya dapat dihadiahkan kepada satu orang saja. Beberapa orang harus melakukan usaha yang keras untuk memperoleh mahkota penghormatan ini, tetapi ketika mereka berusaha untuk memperolehnya, orang yang lain yang lebih dahulu berada sebelum dirinya, akan berusaha juga untuk mendapatkan hadiah tersebut. Tetapi tidak seperti itu halnya dengan pertempuran Kristen. Mereka yang menuruti peraturan yang ada, tidak akan dikecewakan pada akhir pertandingan tersebut. Mereka semua akan memperoleh hadiah, dan kemenangan dan akan memakai mahkota kemuliaan yang abadi.

Banyak orang di dunia ini sedang menyaksikan pertandingan hidup ini, pertempuran Kekristenan. Penguasa alam semesta dan berlaksa-laksa malaikat surga, sedang menonton usaha-usaha dari mereka yang mau bergabung dalam pertandingan Kekristenan. Hadiah yang diberikan kepada setiap orang adalah sesuai dengan tenaga dan kesetiaan yang sungguh-sungguh yang dia telah tunjukkan dalam bagiannya pada pertandingan besar itu.   Paulus sendiri mempraktikkan penyangkalan diri dan mengalami penderitaan dan kekurangan sehingga dia dapat memenangkan hadiah kehidupan yang abadi, dan melalui teladan dan pengajarannya, menuntun orang lain juga untuk menjadi pemenang dari hadiah yang sama seperti yang diperolehnya.

Dia berkata: "Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak" (1 Korintus 9:26, 27). Rasul Paulus rindu untuk membangkitkan saudara-saudaranya di Korintus untuk melihat bahaya yang mengancam mereka melalui kepuasan diri; kemudian dia menghadapi disiplin yang tegas dan diet yang bebas dari minuman keras, dengan tujuan untuk mengembangkan kesehatan, kekuatan, tenaga dan ketabahan dalam menghadapi para pesaing dalam pertandingan itu. Dia memberikan perbedaan antara persiapan ini dan konsekuensinya, dan kehidupan orang-orang Kristen di Korintus yang suka menurut, yang akan memenangkan hadiah keabadian, dan membutuhkan kekuatan tubuh dan pikiran yang sepenuhnya supaya mereka memperoleh kemenangan.

Dia menunjukkan kepada mereka bahwa sampai saat ini, usaha mereka akan lebih mendapatkan celaan; karena bukan hanya keinginan terhadap kesehatan rohani dan penghormatan Injil, yang dapat menyebabkan mereka menolak nafsu dan keinginan yang mereka sangat idam-idamkan.   Di dalam menuruti nafsu-nafsu serta keinginan yang rusak ini yang mereka pernah terlibat di dalamnya dengan upacara-upacara penyembahan berhala, akan membahayakan iman orang-orang yang baru bertobat dari penyembahan berhala ini. Paulus menasihati mereka untuk tetap teguh mengendalikan nafsu-nafsu dan keinginan-keinginan hewani mereka. Tubuh - hasil karya agung dari pekerjaan Allah, - seperti alat yang sempurna, harus dipelihara kesehatannya, supaya dapat menghasilkan tindakan yang serasi. Dia berkata bahwa kecuali orang Kristen melakukan nasihat-nasihatnya, bertarak dalam segala hal, mereka, - setelah berkhotbah kepada orang lain, akan dibuang.        

Paulus menyadari bahwa tubuh adalah rumah Roh Allah. Sebab itu, harus dihargai tinggi dan dipelihara hati-hati. Untuk itu, ia menjalankan disiplin menyeluruh. Ini logis, sebab kegagalan atau keberhasilan kita di satu bidang hidup, sering berkaitan dengan gagal tidaknya kita di aspek hidup lainnya. Disiplin itu sendiri adalah buah Roh. Roh yang hadir dalam orang percaya, akan membantu kita hidup terkendali di bawah kehendak dan hukum-hukum-Nya. namun, kita sendiri perlu aktif melatih diri. Kelakuan tumbuh dari kebiasaan, kebiasaan berkembang karena membiasakan diri. Kecil menjadi besar. Maka perlu melatih diri taat, hidup teratur dari hal-hal sepele sampai ke karakter.

Disiplin jelas menyangkut soal yang konkret. Soal banyaknya yang kita makan, soal berapa lama kita tidur, soal perlu tidaknya yang kita obrolkan, dlsb. biasanya dalam hal-hal sedemikian, disiplin berkaitan dengan keseimbangan hidup. Artinya janganlah kita melakukan sesuatu berlebih-lebihan, tetapi secukupnya dalam sikap syukur. Supaya kita tidak diperbudaknya, tapi kita tuannya di bawah kontrol Kristus.

Disiplin semacam ini tentu menuntut penyangkalan diri. Kemanusiaan tanpa disiplin dan penyangkalan diri adalah kemanusiaan yang sakit, merosot menjadi primitive kebinatangan. Itu sebab Tuhan Yesus mengenakan kita kuk perhambaan kepada-Nya.

Ilustrasi:
Ada kisah seorang Atlet Pelari Wanita pertama yang berhasil meraih 3 medali emas dalam Olimpiade Roma tahun 1960. Dia adalah Wilma Rudolph. Padahal ketika kecil dia terserang penyakit polio yang menyebabkan dia lumpuh selama bertahun-tahun. Namun pada usia sekitar 11 tahun dia sudah mulai bisa berjalan dia bercita-cita untuk menjadi seorang pelari. Lingkungannya mulanya tidak percaya. Tapi ibunya terus mendukung cita-cita Wilma Rudolph. Setelah itu Wilma Rudolph terus berlatih-berlatih, selama bertahun-tahun dengan disiplin. Sampai akhirnya dia berhasil mewujudkan impiannya menjadi wanita pertama merebut 3 medali emas di cabang lari pada olimpiade roma tahun 1960.

Wilma Rudolf membutuhkan banyak tantangan, latihan, dan disiplin tinggi untuk menjadi juara, dan tidak ada yang instant…,


IV. Bagaimana Menjalankan Disiplin?

Dalam buku Developing the Leader Within You, John Maxwell menyatakan ada dua hal yang sangat sukar dilakukan seseorang. Pertama, melakukan hal-hal berdasarkan urutan kepentingannya (menetapkan prioritas). Kedua, secara terus-menerus melakukan hal-hal tersebut berdasarkan urutan kepentingan dengan disiplin.

Berikut beberapa hal yang perlu kita lakukan untuk meningkatkan disiplin diri:

v  Pertama, Perlu ada keputusan dini. Misalnya, sdr menyadari bahwa untuk bertumbuh dalam kerohanian, maka sdr wajib melakukan 3 hal ini: ibadah setiap minggu, Bersaat teduh setiap hari, melayani Tuhan. Sdr kemudian memutuskan bahwa ketiga hal ini sudah harus dilakukan tanpa perlu dipertimbangkan lagi. Sdr tidak perlu lagi menanyakan pada hari sabtu pagi:”besok ke gereja enggak yah? Perlu menyetel weker enggak? Siapa yang kotbah? Bagaimana cuacanya? ENGGAK USAH DIPIKIRIN LAGI. Keputusan itu sudah final, hanya lakukan saja. ATAU ketika bangun pagi setiap hari. Tentukanlah waktunya. Misalnya sdr mau saat teduh setiap pagi. Bangun tidur langsung saat teduh, enggak melakukan hal yang lain.

v  Kedua, Kita membutuhkan teman-teman persekutuan untuk mengingatkan diri kita, karena pencobaan itu panas dan kemalasan itu hangat

v  Ketiga, Arahkanlah pikiran kita kepada hasilnya. Kalau kita mengingatkan diri bahwa hasil daripada disiplin ini sangat besar, maka kita pasti akan berusaha untuk mendisiplin diri. Disiplin tanpa imbalan tidak akan menarik. Setiap orang yang sedang dalam latihan, menahan diri dalam segala hal. Ia melakukan itu karena ia ingin dikalungi dengan karangan bunga kejuaraan, yaitu bunga yang segera akan layu. Tetapi kita ini menahan diri dalam segala hal karena kita ingin dikalungi dengan karangan bunga yang tidak akan layu. (1Kor 9:25). Ada imbalan yang Paulus harapkan dalam menerapkan disiplin.

v  Keempat, mulai dengan disiplin dari hal yang kecil. Penjelasan paling baik untuk filosofi mengenai bagaimana membangun disiplin diri adalah analogi. Disiplin diri itu seperti otot. Semakin Anda melatihnya, semakin kuat Anda. Semakin Anda tidak melatihnya, semakin lemah Anda. Diperlukan otot untuk membangun otot. Maka dari itu, untuk membangun disiplin diri, kita memerlukan disiplin diri. Cara untuk membangun disiplin diri analoginya sama dengan melakukan angkat beban untuk membangun otot. Ini berarti mengangkat beban sampai mendekati batas kemampuan/kekuatan. Perhatikan ketika Anda mengangkat beban, Anda mengangkat beban yang mampu Anda angkat. Anda memaksa otot-otot Anda sampai Anda tidak kuat lagi dan kemudian beristirahat.

Adalah suatu kesalahan untuk memaksa diri Anda terlalu keras saat Anda membangun disiplin diri. Jika Anda mencoba mengubah hidup Anda dalam semalam dengan menetapkan lusinan tujuan untuk diri Anda sendiri dan keesokan harinya Anda berharap bisa memulai melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan-tujuan itu secara konsisten, Anda hampir pasti akan mengalami kegagalan. Hal itu sama seperti orang yang pergi ke tempat fitnes untuk pertama kalinya dan mencoba mengangkat beban tiga ratus kilogram. Anda hanya akan terlihat bodoh

Jangan bandingkan diri Anda dengan orang lain. Itu tidak akan menolong. Jika Anda berpikir bahwa Anda lemah, orang lain akan tampak lebih kuat. Sebaliknya, jika Anda berpikir bahwa Anda kuat, orang lain akan tampak lebih lemah. Tidak ada gunanya melakukan hal tersebut. Lihatlah kemampuan Anda sendiri dan bercita-citalah bahwa Anda akan semakin kuat saat Anda melatih diri.


V.  Disiplin Rohani Anak-Anak Tuhan (1 Tim 6:10-12)

Suatu kali seorang bernama C.B. Hedstrom beremigrasi dari Swedia ke Amerika. Hedstrom mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membeli tiket kapal yang akan membawanya ke negara tujuan. Karena itu ia memutuskan berhemat selama berada di kapal. Selama perjalanan menyeberangi Atlantis, Hedstrom hanya memilih biskuit crackers dan keju baik untuk sarapan, makan siang, maupun makan malam. Pada malam terakhirnya di kapal, Hedstrom memutuskan untuk “sedikit” merayakan “penghematan” yang sudah ia lakukan selama beberapa hari ini. Malam itu ia dengan sangat puas mengisi perutnya dengan daging panggang yang disediakan untuk menu makan malam. Sewaktu Hedstrom meminta nota kepada salah seorang pelayan kapal itu, sang pelayan nampaknya menjadi bingung dan berkata: “Tapi tuan, harga dari makanan-makanan selama pelayaran ini, sudah diperhitungkan dalam tiket yang anda beli.” 

Apa masalah Hedstrom sebenarnya? Cuma satu: tidak menyadari status dirinya saat itu. Ia bukan penyelundup, ia bukan penumpang gelap, faktanya ia adalah penumpang legal yang sudah membayar tiket perjalanan, penumpang yang berhak menikmati segala fasilitas yang sudah disediakan selama perjalanan pelayaran itu. 

Pokok inilah yang hendak diangkat oleh Paulus dalam 1 Tim 6:10-12. Sang Rasul menggambarkan sebuah status diri yang harus disadari oleh Timotius, yaitu status sebagai “Man of God” – “manusia Allah”. Penggambaran Paulus dalam hal ini mirip dengan kisah C.B. Hedstrom  jika  status sebagai “penumpang kapal” akan membawa Hedstrom untuk menempuh pelayaran menuju ke Amerika sebagai negara tujuan, maka status sebagai “Man of God” akan membawa Timotius untuk menempuh perjalanan kehidupan menuju ke suatu sasaran. Apa artinya? Artinya, sama seperti Hedstrom seharusnya terus menghidupi statusnya sebagai penumpang selama perjalanan pelayaran itu sampai akhirnya ia tiba di Amerika, demikian pula Timotius harus konsisten menghidupi statusnya sebagai “Man of God” sampai ia tiba di pelabuhan yang dituju. Karena itulah Paulus menegaskan bahwa status unik yang satu ini menuntut setiap penyandangnya untuk memiliki disiplin rohani tertentu. Kenapa? Ya supaya tidak jatuh dalam kekonyolan yang dilakukan C.B. Hedstrom tadi, melainkan dapat hidup sesuai dengan status yang disandangnya itu. Pertanyaannya, Disiplin Rohani seperti apa yang dimaksud Paulus? 

1.      DISIPLIN  ROHANI  YANG BERGERAK SECARA NEGATIF-POSITIF
Kisah nyata C.B Hedstrom yang dicatat oleh David L. Larsen dalam buku Biblical Spirituality ini menggambarkan kesinambungan dan kontinuitas antara tahap-tahap dalam keselamatan.  Kita mengenal adanya empat tahap  dalam keselamatan:
1.      Apa yang mendahului keselamatan, yaitu  pemilihan dan penentuan ilahi “dari semula” 
2.    Apa yang mengawali keselamatan. Di sini panggilan efektif dari Allah memampukan manusia merespon Injil di dalam pertobatan dan iman (Kis 16:14), mereka kemudian “dibenarkan” atau lebih tepatnya “dijadikan benar” dan menerima status sebagai “anak Allah.”  (Roma 3:24, 28; Gal 2:16, Roma 8:29).
3.     Apa yang merupakan kelanjutan dari keselamatan, yaitu  Pengudusan (sanctification).
4.     Apa yang menjadi finalitas dari keselamatan:  Pemuliaan (glorification)- hasil akhir dari pengudusan, terealisasi pada saat parousia. 

Saudara/i, dalam hal ini pengalaman C.B. Hedstrom melukiskan kesinambungan dan kontinuitas antara tahap pembenaran (dijadikan benar) dan tahap pengudusan. Status benar sudah dikenakan, tahap selanjutnya adalah penyucian dan pembentukan karakter yang berlangsung seumur hidup, sesuai dengan status yang disandangnya. Kekonyolan Hedstrom adalah ia tetap mengenakan “status lamanya” yaitu status saat ia belum memiliki tiket: bukan penumpang kapal,  walau pun ia sudah berada di atas kapal. Suatu hal yang sepertinya tidak terlalu signifikan untuk dipermasalahkan, namun sebenarnya terlalu penting untuk diabaikan begitu saja.

Perhatikan bagaimana cara Paulus menggarisbawahi hal yang satu ini. Lihat ayat 11.  Paulus membuka perkataannya dengan sebuah kata sambung “tetapi”, dan diikuti dengan sebuah status baru: “manusia Allah” lalu kemudian diikuti dengan sebuah nasehat yang bernada perintah “jauhilah semua itu...”. Apa yang harus dijauhi? Yaitu semua yang dicatat di ayat sebelumnya (ay 10): hal cinta uang yang dilakukan oleh mereka yang “bukan manusia Allah” (status lama). Paulus menuliskan juga alamat kepada siapa kalimat tegas ini ditujukan: “hai, engkau...” yg dimaksud adalah Timotius. Secara tajam sang Rasul mengkontraskan Timotius, sang murid, dengan para guru palsu di perikop sebelumnya. Timotius adalah “man of God”- manusia kepunyaan Allah, sementara para guru palsu adalah “man of money” – kepunyaan/ hamba uang; status Timotius adalah “rightiousness’ man” – milik kebenaran- , sementara para guru palsu adalah “sin’s man” – milik/ hamba dosa; Timotius adalah “heaven’s man” – milik sorga, sementara para guru palsu adalah “world’s man” – milik/ hamba dunia. 

Yang istimewa adalah penggunaan bentuk vokatif/ ajakan “hai” yang dipasangkan dengan kata ganti orang “engkau”, “hai engkau, manusia Allah” adalah bentuk yang tidak banyak dijumpai dalam teks-teks Perjanjian baru. Paulus memakai bentuk ini untuk menunjukkan intensnya, perhatiannya yang dalam, bahwa ada satu sikap yang harus diambil oleh Timotius, ada satu disiplin rohani yang harus dimiliki dan dilakukan oleh sang murid terkasih itu untuk tidak lagi hidup dalam status lamanya, seperti para guru palsu saat itu, tetapi tetap hidup dalam status barunya di dalam Kristus. 

Karena itulah Paulus mengatakan dengan tegas BAGAIMANA Timotius harus melakukan disiplin rohaninya: JAUHILAH SEMUANYA ITU, KEJARLAH KEADILAN, IBADAH, KESETIAAN, KASIH, KESABARAN, DAN KELEMBUTAN. Ada gerakan negatif (jauhilah) yang segera diikuti oleh gerakan positif (kejarlah). Secepat Timotius berlari menjauhi sikap cinta uang, secepat itu pula ia harus berlari meraih nilai-nilai spiritual yang sudah menanti di depan.  Perhatikan bentuk kata kerja yang digunakan: baik kata “Jauhilah/ tinggalkanlah” mau pun kata “Kejarlah”  keduanya menggunakan bentuk present, imperatif. Ini bicara soal kecenderungan/ habit yang merupakan keharusan. Manusia milik Allah tidak hanya perlu selalu memiliki kecenderungan/ habit untuk menjauhkan diri dari perbuatan2 dosa, tapi ia juga harus selalu memiliki kecenderungan/ habit untuk mengejar kekudusan. Mengapa? Karena jika ia berhenti pada tahap yang pertama, maka apa yang ada dibelakangangnya (kebiasaan2 dosa/ natur manusia lama) akan kembali “menangkapnya.”  Nilai-nilai spiritual apa yang harus segera dikejar oleh Timotius? Paulus mencatat ada 6 nilai yang dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok:

Pertama adalah “keadilan”, dikaiosune. Kata ini didefinisikan sebagai “memberi, baik kepada manusia maupun kepada Allah, apa yang menjadi haknya”. Manusia cenderung untuk meminta/ menuntut haknya, baik kepada Allah maupun kepada sesamanya. Paulus sebaliknya mengajarkan agar Timotius belajar untuk tidak memusingkan diri dengan hak-haknya, tetapi memberi prioritas kepada hak-hak Allah dan hak-hak sesama.

Kedua adalah kelompok yang terdiri atas tiga kebajikan, yang terarah kepada Allah, yaitu kesalehan yang diterjemahkan oleh LAI sebagai ibadah; kesetiaan, dan kasih. Kita akan lihat satu persatu.
1) “Kesalehan”, orang saleh adalah sebutan bagi seorang yang tidak pernah berhenti menyadari bahwa seluruh kehidupannya dijalani di hadirat Allah, CORAM DEO. Seorang pegawai tidak akan berlaku tidak disiplin jika bos ada di depan mata. Seorang mahasiswa yang baik tidak akan bertingkah aneh-aneh di depan sang dosen. Demikian pula sebagai ciptaan di depan Penciptanya, tidak ada lagi yang layak dipersembahkan selain kehidupan yang berkenan kepada sang Pencipta.  
2) “Kesetiaan”, pistis - iman, di sini berarti kesetiaan yang total kepada Allah – dalam situasi apa pun, di mana pun dan kapan pun.
3) “Kasih”, agape mengasihi Allah dan mengasihi sesama dengan kasih yang telah diterima dari Allah.

Ketiga adalah kebajikan yang berhubungan dengan perilaku kehidupan, yaitu hupomone. LAI menerjemahkannya dengan “kesabaran”; namun hupomone tidak pernah berarti duduk berpangku tangan dan hanya menanggung sesuatu, membiarkan pengalaman hidup menutupinya bagaikan air pasang, membiarkan pengalaman hidup menaklukkan dirinya. Hupomone/ kesabaran adalah keteguhan iman dan kesalehan yang tidak berubah sekalipun dalam kesengsaraan dan penderitaan. Inilah kesabaran yang berdaya tahan untuk mencapai kemenangan.

Keempat adalah kebajikan terhadap sesama manusia. Kata Yunaninya adalah paupatheia, yang diterjemahkan dengan kelembutan. Kata ini melukiskan jiwa yang tidak pernah meledak menjadi kemarahan oleh karena kesalahannya sendiri dan kesalahan orang lain. Jiwa yang tahu bagaimana memberi maaf, tetapi juga tahu bagaimana berperang demi kebenaran. Kelembutan melukiskan jiwa yang berjalan dengan merendahkan diri, tetapi juga memiliki rasa bangga oleh karena panggilan Allah. Panggilan Allah untuk apa? Untuk terus meninggalkan kehidupan lama kita, dan untuk terus mengejar keenam nilai-nilai spiritual  yang sebenarnya sudah disediakan Allah disepanjang perjalanan hidup kita, seberat dan semahal apa pun harganya. 

2.       DISIPLIN ROHANI  SEORANG ATLIT YANG TANPA KOMPROMI
Pengalaman Hedstrom bagi kita menyiratkan sebuah kebenaran penting yang tidak bisa dipungkiri:  status sebagai penumpang kapal sudah dikenakan atas diri Hedtrom, peluit kapal sudah dibunyikan, jangkar sudah diangkat, dan perjalanan sudah dimulai. Apa artinya? Itu artinya sudah terlambat untuk mundur. Suka tidak suka, siap tidak siap, ia kini adalah seorang penumpang yang sedang menempuh perjalanan, sebuah perjalanan yang tidak akan pernah berhenti sampai ia tiba di tempat yang dituju:  Amerika. 
Hal yang sama berlaku juga di dalam kekristenan,  begitu status “anak Allah” sudah disandang, maka suka tidak suka, siap tidak siap, setiap orang percaya sudah menerjunkan dirinya dalam suatu pertandingan atau pertempuran. Perhatikan ayat 12, kata kerja yang dipakai menggunakan bentuk present imperatif yang menunjukkan natur dari pertandingan/ pertempuran yang bersifat kontinual. Sebuah pertandingan yang tidak akan pernah berhenti sampai garis akhir tercapai, sebuah pertempuran yang tidak akan pernah berhenti sampai kerajaan Allah terwujud dengan sempurna di bumi. 

Sayangnya, tidak semua orang Kristen menyadari bahwa mereka sedang berada di tengah-tengah pertempuran. Beberapa orang mencari posisi yang aman dan nyaman untuk bisa mangkir dari pertempuran. “Biarinlah... orang hidup ini saja sudah susah, kok malah dibikin runyam dengan berusaha mengejar ke enam nilai spiritual tadi. Masa sih menuntut hak gak boleh. Masa sih sekali-sekali curang/ melanggar gak boleh. Masa sih harus terus-terusan mengampuni. Masa sih berusaha menghindar dari kerepotan2, penderitaan, dan kesusahan2 hidup gak boleh? 

Bukan itu masalahnya. Paulus tidak pernah mengajarkan Timotius untuk mengejar penderitaan atau bikin hidupnya yang gak mudah menjadi semakin rumit. Kata kerja “bertanding” yang dipergunakan berasal dari kata agonizoma. Dan dari kata agonizoma inilah kata “agonize”dalam bahasa Inggris muncul, yang artinya “menderita sekali”.  Kata ini dipergunakan baik dalam dunia atletik mau pun militer, untuk menggambarkan konsentrasi, disiplin, keyakinan, dan upaya keras untuk bisa meraih kemenangan. 

Paulus menasehati agar Timotius menjauhi, meninggalkan natur dosanya dan mengejar nilai-nilai Ilahi. Dan selama kita masih hidup di dunia yang bermusuhan dengan Allah, maka kedua hal ini akan selalu menempatkan kita pada sejumlah pertempuran! Pertempuran inilah yang harus dihadapi dan TIDAK BOLEH kita hindari. Mengapa? Karena dalam suratnya Kisah Para Rasul 14 kepada jemaat di Listra, Ikonium, dan Antiokia, Paulus menyatakan bahwa melalui “kesengsaraan” / pertempuran itulah setiap orang percaya dapat memasuki kerajaan Allah (Kis 14:22). Perkataan Sang rasul ini menggarisbawahi perkataan Yesus dalam Mat 10:38 “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagiKU.” Seolah-olah kebenaran ini hendak mengatakan kepada setiap kita: “Mau berapa lama lagi engkau menunda-nunda untuk pikul salib, mau berapa jauh lagi engkau menghindari dari salib yang harus kau pikul...selama itulah dan sejauh itulah engkau akan mendatangkan berbagai-bagai duka terhadap hidupmu sendiri. 

Ketika Paulus menasehati Timotius untuk MEREBUT hidup yang kekal, bukan berarti Paulus hendak mengatakan bahwa Timotius masih membutuhkan keselamatan. Sebaliknya, sang Rasul mendorong muridnya agar “menguasai diri” dalam realitas hidup yang kekal. Sebab hanya dengan demikian Timotius dapat hidup dan melayani dalam terang kekekalan. Perjuangan memikul salib memang bukan hal yang bisa mendatangkan sukacita secara duniawi. Lukisan nyatanya ada pada via dolorosa – saat Kristus memikul salibNya, bukan penghormatan, bukan sanjungan, bukan pujian yang Ia terima, tapi cemoohan, pukulan, dan kemarahan. Setiap orang yang melayani untuk mendapatkan apa yang dapat ia peroleh dari dunia ini telah jatuh ke dalam perspektif yang keliru. Manusia milik Allah (man of God) memikirkan perkara2 yang diatas, bukan yang di bumi (Kol 3:2) sebab ia sadar bahwa ia adalah warga negara kerajaan Allah, ia sadar untuk itulah ia dipanggil dan telah berikrar. Via dolorosa memang harus dilalui oleh setiap orang Kristen, tapi akhir perjalanan itu bukan cuma sekedar bukit golgota, sebab dibalik kengerian Golgota ada kemenangan yang kekal!

Dengan kata lain, Paulus hendak menunjukkan kepada sang murid, bahwa setiap orang percaya harus memiliki satu fokus dalam perjuangannya: KEMENANGAN. Itu artinya, setiap “kegagalan” karena kelemahan2 yang kita miliki, bukanlah sebuah kegagalan, melainkan kesempatan untuk memperbaiki diri. Oleh karena itu jangan pernah putus asa atau menyerah. Mahkota sudah tersedia di akhir perjalanan kita. Paulus di sini bukan sekedar membicarakan sebuah program, tetapi ia berbicara tentang suatu strategi di masa perang untuk menaklukan musuh, ia berbicara soal disiplin atlit untuk terus berlatih dalam rangka meraih mahkota kemenangan itu. 

Lalu apa aplikasi semua paparan tadi bagi kita? Saudara/i, bagi seorang atlit yang ingin meraih kemenangan, ada serangkaian disiplin yang harus dijalani. Ambil contoh atlit lari/ pelari. Dia setiap hari harus bangun pagi-pagi benar, dia harus pemanasan dan latihan lari beberapa kilometer per hari, dia harus menjaga makanannya, dia tidak boleh terlalu gemuk tapi harus kuat, dia harus menjaga stamina, dan lain-lain. Pendek katanya dia harus mengolah, melatih, dan mendisiplin tubuhnya sedemikian rupa supaya bisa menang. Kalau bosen atau cape bagaimana? Ya tetap harus dipaksakan, harus terus mendisiplinkan diri, harus memerangi kebosanan dan keletihannya tersebut, jangan menyerah.

Demikian juga dengan kita, supaya bisa menang dalam pertandingan iman, kita pun harus mendisiplinkan diri kita dengan disiplin rohani. Kita harus menanggalkan, menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan, dan sebaliknya mengejar nilai-nilai spiritual, mengejar keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan. Kita harus mendisiplinkan diri tanpa kompromi seperti seorang atlit. Dan puji Tuhan, bahwa untuk mencapai disiplin rohani tersebut, Allah telah menyediakan sarana-sarana anugerah bagi kita. Apa saja itu? Diantaranya adalah studi dan penerapan Firman Allah, ibadah, persekutuan dengan saudara seiman, dan wadah melayani Tuhan secara khusus. Hal-hal inilah yang secara praktis harus tekun kita lakukan. Mengapa? Karena melalui keempat hal inilah Allah akan membentuk spiritual kita sehingga kita siap menang dalam pertandingan iman.

Ilustrasi :
Anda mungkin pernah mendengar cerita tentang John Stephen Akhwari, pelari maraton dari Tanzania yang paling akhir tiba di garis finis pada Olimpiade 1968 di Meksiko. Sebelumnya, tak pernah ada seorang pelari yang sampai di garis finis begitu terlambat.
Karena terluka dalam perjalanan, ia berjalan tertatih-tatih masuk stadion dengan kaki yang berdarah dan dibalut. Satu jam lebih telah berlalu ketika para pelari lain telah menyelesaikan perlombaan itu. Hanya sedikit penonton yang masih tinggal di tempat duduk ketika Akhwari akhirnya melintasi garis finis. Ketika ditanya mengapa ia terus berlari walaupun kakinya terluka, Akhwari menjawab, "Negara saya tidak mengirim saya ke Meksiko hanya untuk memulai perlombaan. Mereka mengirim saya ke sini untuk menyelesaikan pertandingan."  

VI. Penutup
           
Dari apa yang sudah dipaparkan diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  1. Disiplin bukan sesuatu yang bersifat instan melainkan melalui proses pembelajaran, khususnya sebagai manusia baru di dalam Yesus Kristus (Kol. 3:10);
  2. kedisiplinan bukan sesuatu yang terus-menerus dipaksakan dari luar, melainkan kesadaran diri dari dalam, yaitu sebagai wujud mengasihi Tuhan (Mat. 22:37);
  3. kedisiplinan perlu latihan yang terus dilakukan secara bertahap (Mat. 25:21);
  4. kedisiplinan menghasilkan sesuatu yang sangat berguna baik bagi orang itu sendiri, dan juga bagi orang-orang yang ada di sekitarnya, yaitu ketertiban dan keteraturan (1 Kor. 14:33,40);
  5. kedisiplinan merupakan wujud dari kehidupan yang dipimpin oleh Roh Kudus karena berkaitan dengan salah satu sifat buah roh (Gal. 5:22-23).

Menurut John Maxwell, ada empat hal yang harus kita perhatikan untuk melakukan pengembangan diri secara disiplin sehingga dapat membangkitkan potensi dahsyat yang kita miliki. Empat hal tersebut adalah start with yourself – start early – start small – start now. Mulai dari diri sendiri – sesegera mungkin – sedikit demi sedikit – lakukan sekarang.

Bidang kehidupan manakah dari sdr yang membutuhkan disiplin? Kapankah anda akan mengambil langkah pertamanya? Jika kita sungguh-sungguh mau, marilah kita tekun dan giat melakukan disiplin rohani.

Disiplin, BUKAN sekedar rutinitas saja. Karena rutinitas hanya membuat kita jalan di tempat, sedangkan disiplin akan mendorong kita maju dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi.

Ilustrasi:
Seorang ayah menyaksikan anaknya yang masih kecil mencoba menggeser suatu batu besar. Tetapi batu itu tidak bergeming. Anak itu berdiri putus asa.
“Sudahkah kamu gunakan seluruh kemampuanmu?” tanya sang ayah.
“Ya, sudah.” jawab anak itu.
“Belum anakku, belum,” jawab sang ayah, “Kamu belum minta bantuanku.”

Disiplinlah dengan sarana anugerah yang telah Ia sediakan dan jangan pernah menyerah. Tuhan pasti akan menolong jika kita mau minta tolong
            Kita adalah prajurit Tuhan, seorang prajurit harus menjungjung disiplin tinggi, kalau tidak disiplin maka dapat dipastikan seorang prajurit akan gambang terbunuh di medan pertempuran, kita adalah prajurit Tuhan.. dalam kisah Romawi seorang prajurit ketika akan disahkan dia harus melewati tetesan darah seekor lembu yang dipotong, prajurit akan melewatinya dan ketika darah itu kena dia sah sebagai seorang prajurit, kita pun demikian namun kita disahkan bukan dengan tetasan darah lembu, tetapi dengan darah Tuhan… maka hidup harus berjuang dengan disiplin penuh yang datangnya dari Tuhan