Welcome

Bekerjalah Untuk Makanan Yang Tidak Dapat Binasa....!!!

Saturday 25 June 2011

KEHIDUPAN SEORANG PELAYAN

KEHIDUPAN SEORANG PELAYAN

Tema tersebut di atas merupakan tema yang sangat penting dan relevan untuk dibahas pada masa kini.
Mengapa penting? Tidak dapat disangkali bahwa akhir-akhir ini, kehidupan para rohanian serta pelayan-pelayan Tuhan menjadi sorotan umum. Hal itulah yang cukup sering ditemukan di dalam berbagai media di mana jemaat mengeluhkan kehidupan pelayan di Gerejanya. Dalam sebuah kesempatan Tanya jawab (dialog interaktif), pada sebuah radio swasta, penulis juga menerima berbagai keluhan dan pertanyaan di seputar kehidupan pelayan Tuhan yang tidak memberi kesaksian yang benar, baik dalam kehidupan keluarga, keuangan, ambisi-ambisi negatif terselubung, terlibat dalam perselingkuhan, dll.

Ada satu hal yang 'menarik' untuk diamati. Ada sementara orang yang suka menyebut dirinya sebagai pelayan Tuhan atau hamba. Di sebuah Gereja tertentu, seorang dapat dengan mudah menjadi pendeta, tanpa melewati waktu yang cukup lama serta adanya ujian serta seleksi yang cukup memadai.

Berbagai kategori diberikan kepada mereka, seperti pendeta muda, pendeta pembantu, pendeta senior, serta sejenisnya. Tetapi apa pun jenis atau kategori yang diberikan, yang jelas, mereka itu semua merasa dirinya sebagai pelayan Tuhan. Dan memang, kelihatannya, mereka sangat senang disebut sebagai pelayan Tuhan atau hamba Tuhan. Sayangnya, walau senang disebut atau menyebut diri sebagai pelayan atau hamba, kadang kala, sikap seorang pelayan atau hamba tidak terlihat jelas. Yang nampak dengan nyata adalah sikap seperti tuan, ngebos dan ingin dilayani. Kontradiksi? Benar. Namun, itulah kadangkala kenyataan yang terjadi. Lalu, bagaimanakah sesungguhnya kita menghayati pelayanan tersebut?


Pelayanan adalah Penyembahan

Dalam Perjanjian Lama, kata penyembahan (Ibrani) adalah avodah. Kata ini mengandung makna vertikal dan horizontal. Artinya, di satu sisi, avodah mengacu kepada relasi umat yang menyembah Allah. Di sini ditunjukkan sikap hormat kepada Allah, yang seringkali dinyatakan dalam bentuk sujud menyembah dengan kening sampai menyentuh tanah/lantai.
Di sisi lain, kata avodah mengacu kepada sikap seseorang yang pergi melayani Allah, sebagai akibat dari ketaatannya pada perintahNya. Apa saja yang Allah perintahkan untuk dilakukan untuk kebaikan umatNya akan dilakukan dengan segala ketaatan dan penyembahan. Jadi, di sini kita belajar bahwa kedua hal ini, yaitu penyembahan dan pelayanan, bukan merupakan dua hal yang terpisah, tetapi merupakan satu bagian.
Jikalau dalam bahasa Inggris kita menemukan dua istilah, yaitu worship dan serve, demikian juga dalam bahasa Indonesia: menyembah dan melayani, yang mengacu kepada dua hal yang berbeda, tidak demikian dengan bahasa Ibrani, avodah. Karena istilah ini mencakup dua hal di atas. Atau lebih tepatnya, istilah ini diungkapkan dalam dua bentuk kegiatan tsb di atas. Ini dapat diibaratkan seperti satu keping uang dengan dua mata coin. Itulah sebabnya,pelayanan yang benar kepada sesama (horizontal) harus keluar dari relasi yang benar dengan Allah, yaitu ketika secara sadar kita menyatakan kasih dan penyembahan kita kepadaNya (vertikal) melalaui pelayanan tsb. Dengan demikian, tidak akan ditemukan kasus-kasus di mana pelayan memperalat orang-orang yang dilayaninya untuk kepentingan diri sendiri, terlebih lagi merusak serta mencemarkannya.

Pelayanan adalah being bukan sekedar doing

Mengatakan diri sebagai seorang pelayan Tuhan serta melakukan berbagai perbuatan (doing) dan kegiatan rohani, memang tidaklah terlalu sulit. Namun, hal itu tidak menjamin keberadaan (being) orang tersebut. Hal itulah yang dihadapi oleh rasul Paulus. Ketika melayani di jemaat Korintus, dia menyaksikan pengajar serta pelayan-pelayan palsu. Dalam kondisi demikian, nampaknya, dia tergoda dan dituntut untuk memberikan semacam surat rekomendasi yg membuktikan kerasulan atau otoritasnya. Namun demikian, dia menolak melakukan hal itu. Sebaliknya, dia menegaskan dengan suatu pernyataan penting: "...kamu tertulis dalam hati kami... karena telah ternyata bahwa kamu... ditulis dengan pelayanan kami (2 Kor.3:2-3). Dari pernyataan tsb, kita memperhatikan betapa beraninya rasul Paulus menyatakan dua hal penting yang merupakan ciri dari seorang pelayan sejati.
Pertama, dia menunjuk kepada dirinya sendiri: "kamu tertulis dalam hati kami". Disini rasul Paulus menegaskan bahwa dia bukan sekedar menjadikan jemaat Korintus sebagai objek pelayanan- misalnya untuk cari untung, sebagaimana dilakukan pengajar dan pelayan lain yang telah menyusup ke dalam jemaat. Tetapi dia berani mengatakan bahwa jemaat ada dalam hatinya Pernyataan tersebut menunjukkan menyatunya kegiatannya dengan dirinya, karena kegiatan yang dilakukannya keluar dari hatinya yang sangat dalam.
Pada fasal sebelumnya dia telah menyatakan hal ini: "... Allah adalah saksiku -Ia mengenal aku- bahwa aku mengasihi kamu" (2 Kor.1: 23; 2:4c). Karena kasih inilah maka rasul Paulus tidak mau menyakiti hati jemaat dan rela mencucurkan air mata (2:1-4). Bukankah kualitas hati seperti ini sangat luar biasa? Adakah bukti lain yang diperlukan melebihi bukti diri pelayan itu sendiri yang sedemikian mengasihi jemaatnya? Apa yang terjadi bila sebaliknya, di mana pelayan hanya giat melayani tanpa kasih, bahkan menjadikan jemaat sebagai sapi perahan? Semoga Bapa sorgawi senantiasa menjaga dan menguduskan semua pelayanNya sehingga mereka tetap teguh berdiri di tengah badai, dan tidak menjadi batu sandungan. Kiranya Dia, yang pada abad lalu telah mengaruniakan pelayan-pelayan sejati seperti Nomensen ke tanah Batak, Denninger ke Nias, Joseph Kam ke Maluku, Sadrakh ke Jawa, akan terus mengaruniakannya pada masa kini.-
Sesungguhnya, pelayanan itu adalah sesuatu yang sangat mulia. Sayang sekali, sebagian orang yang melayani Tuhan tidak menghayatinya demikian. Seorang yang sedang melayani Tuhan, meminta rekannya mencarikan pekerjaan yang lebih baik. Meresponi hal itu, dengan wajah yang agak heran, rekannya bertanya apakah ada pekerjaan lain yang lebih baik dan lebih mulia daripada pekerjaan seorang hamba Tuhan.
Rasul Paulus sangat menyadari kemuliaan pelayanan itu. Itulah sebabnya, di dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, ketika dia membandingkan pelayanannya (Perjanjian Baru) dengan pelayanan Musa (Perjanjian Lama), dia berulang kali menegaskan kemuliaan pelayanannya. Dia menulis: “Jika pelayanan itu datang dengan kemuliaan yang demikian, betapa lebih besarnya lagi kemuliaan yang menyertai pelayanan Roh (2Kor.3:7c-8). Konsep kemuliaan tersebut sedemikian menonjol. Karena itu, dalam pasal tersebut, terdapat 9 kali pengulangan kata “mulia” (lihat 7-11, 18).
Mengapa pelayanan itu mulia? Kita dapat menemukan beberapa alasan yang sangat jelas. Pertama, karena sesungguhnya, ketika kita melayani, kita bukanlah melayani manusia, tetapi melayani Allah yang sangat mulia (7). Ketika diperhadapkan dengan kemuliaan Allah yang demikian, nabi Yesaya menyadari ketidaklayakannya dan berseru: “Celakalah aku! Aku binasa!” (Yes.6:3,5). Namun demikian, sungguh ajaib! Allah yang mulia inilah yang mengerjakan pelayanan itu di dalam diri kita. Kedua, karena kabar baik yang tertulis dalam loh-loh daging itu adalah mulia (2Kor.3:3). Injil itulah yang disebut oleh rasul Paulus sebagai harta yang sangat indah (4:7) yang mengandung rahasia Allah yang tersembunyi selama berabad-abad (Ef.3: 5-10). Harta tersebut tidak dapat dibandingkan dengan harta semahal apa pun di dunia ini. Ketiga, karena akibat dari pelayanan itu juga mulia (8,9,10,11, 18). Kuasa Injil akan merubah orang berdosa dari kematian kekal kepada kehidupan (7), dari perbudakan dosa kepada pembenaran (9), dari kehinaan kepada kemuliaan yang semakin besar (18).
Sesungguhnya, berita seperti itulah yang diberitakan oleh mahluk-mahluk kudus seperti malaikat, nabi dan rasul. Dan sekarang, di zaman ini, berita tersebut dipercayakan kepada kita orang lemah! Kenyataan tersebut, membuat kita mengerti dialog yang pernah terjadi antara Robert Munger dengan seorang usahawan sukses. Dalam sebuah penerbangan, Robert Munger menanyakan tentang perkerjaan usahawan tersebut. Dengan bangga orang ini bercerita tentang kisah perusahaannya yang sukses dan telah membuka cabang diberbagai tempat dan saat itu dia sedang meresmikan cabang perusahaan yang ke 53! Setelah itu, usahawan tersebut balik bertanya, “And you, what are you doing”? Selanjutnya, terjadi dialog yang menarik untuk disimak. Robert Munger dengan sangat bangga menjawab: “I am engaged in a greatest company in the world. The greatest company, with a greatest future, a most important product, and above all, the greatest Manager and President”! Usahawan tersebut terheran-heran dan ingin mengetahui perusahaan apa yang dimaksud. Siapakah Robert Munger? Dia adalah seorang pelayan Tuhan, penginjil yang terlibat dalam penginjilan sedunia (Global Mission), yang memenangkan jiwa-jiwa bagi kekekalan.
Apa implikasi konkrit dari menghayati pelayanan sebagai sesuatu yang mulia? Kesadaran akan kemuliaan pelayanan tersebut membuat para pelayan Tuhan melakukannya dengan rasa syukur, bangga sebagaimana terlihat dalam diri Robert Munger tersebut di atas. Ketika semakin banyak orang tidak memiliki kebanggaan terhadap panggilan pelayanannya, maka kita perlu merenungkan dan meneladani pernyataan Munger tsb.

Kemurahan Allah

Setelah menyatakan kemuliaan pelayanan tersebut, rasul Paulus melanjutkan: “Karena itu, oleh kemurahan Allah kami telah menerima pelayanan ini” (2Kor. 4:1). Sebagai catatan, dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia, kata “karena itu” tidak ditemukan (Yunani, dia touto; NIV Bible: therefore). Jadi, pelayanan tersebut dihayati oleh rasul Paulus, bukan karena dia layak untuk tugas dan panggilan tersebut, tapi semata-mata karena Allah bermurah hati untuk melibatkannya. Penghayatan seperti ini sangat menonjol dalam surat-surat rasul Paulus. Sebagaimana telah kita sebut di atas, rasul Paulus menyatakan bahwa Injil itu merupakan rahasia Allah yang sangat mulia (baca juga Ef.3: 5-10). Setelah itu, rasul Paulus menegaskan, “Dari Injil itu, aku telah menjadi pelayannya menurut pemberian kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku... Kepadaku yang paling hina dari di antara segala orang kudus telah dianugerahkan kasih karunia ini untuk memberitakan... (Ef.3: 7-8).
Penghayatan bahwa pelayanan yang diterimanya adalah semata-mata kemurahan Allah membuat rasul Paulus memberikan satu pernyataan penting: “ Karena itu, kami tidak tawar hati” (2Kor.4:1b). Sikap inilah yang pertama disebutkan oleh rasul Paulus sebagai sikap yang harus dimiliki oleh setiap orang –termasuk kita- yang dipanggil untuk melayani Dia.
Demikian juga dengan pelayan-pelayan Tuhan yang sedang melayani. Kita mungkin memiliki pengetahuan teologia yang cukup serta berbagai ketrampilan dalam pelayanan. Tetapi bila hati tawar, maka pelayanan kita akan macet. Sebagai akibatnya, akan ‘memacetkan’ orang lain juga. Karena itu, baik sekali kalau kita sering memperhatikan dan merenungkan seruan Paulus, “Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala (mendidih, Yun: zew) dan layanilah Tuhan” (Ro.12: 11).