KEHIDUPAN SEORANG PELAYAN
Tema tersebut di atas
merupakan tema yang sangat penting dan relevan untuk dibahas pada masa
kini.
Mengapa penting? Tidak dapat disangkali bahwa akhir-akhir ini, kehidupan para rohanian serta pelayan-pelayan Tuhan menjadi sorotan umum. Hal itulah yang cukup sering ditemukan di dalam berbagai media di mana jemaat mengeluhkan kehidupan pelayan di Gerejanya. Dalam sebuah kesempatan Tanya jawab (dialog interaktif), pada sebuah radio swasta, penulis juga menerima berbagai keluhan dan pertanyaan di seputar kehidupan pelayan Tuhan yang tidak memberi kesaksian yang benar, baik dalam kehidupan keluarga, keuangan, ambisi-ambisi negatif terselubung, terlibat dalam perselingkuhan, dll.
Mengapa penting? Tidak dapat disangkali bahwa akhir-akhir ini, kehidupan para rohanian serta pelayan-pelayan Tuhan menjadi sorotan umum. Hal itulah yang cukup sering ditemukan di dalam berbagai media di mana jemaat mengeluhkan kehidupan pelayan di Gerejanya. Dalam sebuah kesempatan Tanya jawab (dialog interaktif), pada sebuah radio swasta, penulis juga menerima berbagai keluhan dan pertanyaan di seputar kehidupan pelayan Tuhan yang tidak memberi kesaksian yang benar, baik dalam kehidupan keluarga, keuangan, ambisi-ambisi negatif terselubung, terlibat dalam perselingkuhan, dll.
Berbagai
kategori diberikan kepada mereka, seperti pendeta muda, pendeta
pembantu, pendeta senior, serta sejenisnya. Tetapi apa pun jenis atau
kategori yang diberikan, yang jelas, mereka itu semua merasa dirinya
sebagai pelayan Tuhan. Dan memang, kelihatannya, mereka sangat senang
disebut sebagai pelayan Tuhan atau hamba Tuhan. Sayangnya, walau senang
disebut atau menyebut diri sebagai pelayan atau hamba, kadang kala,
sikap seorang pelayan atau hamba tidak terlihat jelas. Yang nampak
dengan nyata adalah sikap seperti tuan, ngebos dan ingin dilayani.
Kontradiksi? Benar. Namun, itulah kadangkala kenyataan yang terjadi.
Lalu, bagaimanakah sesungguhnya kita menghayati pelayanan tersebut?
Pelayanan adalah Penyembahan
Dalam Perjanjian Lama, kata penyembahan (Ibrani) adalah avodah.
Kata ini mengandung makna vertikal dan
horizontal. Artinya, di satu sisi, avodah mengacu kepada relasi umat
yang menyembah Allah. Di sini ditunjukkan sikap hormat kepada Allah,
yang seringkali dinyatakan dalam bentuk sujud menyembah dengan kening
sampai menyentuh tanah/lantai.
Di sisi lain, kata avodah mengacu kepada sikap seseorang yang pergi melayani Allah, sebagai akibat dari ketaatannya pada perintahNya. Apa saja yang Allah perintahkan untuk dilakukan untuk kebaikan umatNya akan dilakukan dengan segala ketaatan dan penyembahan. Jadi, di sini kita belajar bahwa kedua hal ini, yaitu penyembahan dan pelayanan, bukan merupakan dua hal yang terpisah, tetapi merupakan satu bagian.
Di sisi lain, kata avodah mengacu kepada sikap seseorang yang pergi melayani Allah, sebagai akibat dari ketaatannya pada perintahNya. Apa saja yang Allah perintahkan untuk dilakukan untuk kebaikan umatNya akan dilakukan dengan segala ketaatan dan penyembahan. Jadi, di sini kita belajar bahwa kedua hal ini, yaitu penyembahan dan pelayanan, bukan merupakan dua hal yang terpisah, tetapi merupakan satu bagian.
Jikalau dalam bahasa Inggris kita menemukan dua istilah, yaitu
worship dan serve, demikian juga dalam bahasa Indonesia : menyembah dan
melayani, yang mengacu kepada dua hal yang berbeda, tidak demikian
dengan bahasa Ibrani, avodah. Karena istilah ini mencakup dua hal di
atas. Atau lebih tepatnya, istilah ini diungkapkan dalam dua bentuk
kegiatan tsb di atas. Ini dapat diibaratkan seperti satu keping uang
dengan dua mata coin. Itulah sebabnya,pelayanan yang benar kepada sesama
(horizontal) harus keluar dari relasi yang benar dengan Allah, yaitu
ketika secara sadar kita menyatakan kasih dan penyembahan kita kepadaNya
(vertikal) melalaui pelayanan tsb. Dengan demikian, tidak akan
ditemukan kasus-kasus di mana pelayan memperalat orang-orang yang
dilayaninya untuk kepentingan diri sendiri, terlebih lagi merusak serta
mencemarkannya.
Pelayanan adalah being bukan sekedar doing
Mengatakan diri sebagai seorang pelayan Tuhan serta melakukan
berbagai perbuatan (doing) dan kegiatan rohani, memang tidaklah terlalu
sulit. Namun, hal itu tidak menjamin keberadaan (being) orang tersebut.
Hal itulah yang dihadapi oleh rasul Paulus. Ketika melayani di jemaat
Korintus, dia menyaksikan pengajar serta pelayan-pelayan palsu. Dalam
kondisi demikian, nampaknya, dia tergoda dan dituntut untuk memberikan
semacam surat
rekomendasi yg membuktikan kerasulan atau otoritasnya. Namun demikian,
dia menolak melakukan hal itu. Sebaliknya, dia menegaskan dengan suatu
pernyataan penting: "...kamu tertulis dalam hati kami... karena telah
ternyata bahwa kamu... ditulis dengan pelayanan kami (2 Kor.3:2-3). Dari
pernyataan tsb, kita memperhatikan betapa beraninya rasul Paulus
menyatakan dua hal penting yang merupakan ciri dari seorang pelayan
sejati.
Pertama, dia menunjuk kepada
dirinya sendiri: "kamu tertulis dalam hati kami". Disini rasul Paulus
menegaskan bahwa dia bukan sekedar menjadikan jemaat Korintus sebagai
objek pelayanan- misalnya untuk cari untung, sebagaimana dilakukan
pengajar dan pelayan lain yang telah menyusup ke dalam jemaat. Tetapi
dia berani mengatakan bahwa jemaat ada dalam hatinya Pernyataan tersebut
menunjukkan menyatunya kegiatannya dengan dirinya, karena kegiatan yang
dilakukannya keluar dari hatinya yang sangat dalam.
Pada fasal sebelumnya dia telah menyatakan hal ini: "... Allah
adalah saksiku -Ia mengenal aku- bahwa aku mengasihi kamu" (2 Kor.1:
23; 2:4c). Karena kasih inilah maka rasul Paulus tidak mau menyakiti
hati jemaat dan rela mencucurkan air mata (2:1-4). Bukankah kualitas
hati seperti ini sangat luar biasa? Adakah bukti lain yang diperlukan
melebihi bukti diri pelayan itu sendiri yang sedemikian mengasihi
jemaatnya? Apa yang terjadi bila sebaliknya, di mana pelayan hanya giat
melayani tanpa kasih, bahkan menjadikan jemaat sebagai sapi perahan?
Semoga Bapa sorgawi senantiasa menjaga dan menguduskan semua pelayanNya
sehingga mereka tetap teguh berdiri di tengah badai, dan tidak menjadi
batu sandungan. Kiranya Dia, yang pada abad lalu telah mengaruniakan
pelayan-pelayan sejati seperti Nomensen ke tanah Batak, Denninger ke
Nias, Joseph Kam ke Maluku, Sadrakh ke Jawa, akan terus mengaruniakannya
pada masa kini.-
Sesungguhnya,
pelayanan itu adalah sesuatu yang sangat mulia. Sayang sekali, sebagian
orang yang melayani Tuhan tidak menghayatinya demikian. Seorang yang
sedang melayani Tuhan, meminta rekannya mencarikan pekerjaan yang lebih
baik. Meresponi hal itu, dengan wajah yang agak heran, rekannya bertanya
apakah ada pekerjaan lain yang lebih baik dan lebih mulia daripada
pekerjaan seorang hamba Tuhan.
Rasul Paulus sangat menyadari kemuliaan pelayanan itu. Itulah
sebabnya, di dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, ketika dia
membandingkan pelayanannya (Perjanjian Baru) dengan pelayanan Musa
(Perjanjian Lama), dia berulang kali menegaskan kemuliaan pelayanannya.
Dia menulis: “Jika pelayanan itu datang dengan kemuliaan yang demikian,
betapa lebih besarnya lagi kemuliaan yang menyertai pelayanan Roh
(2Kor.3:7c-8). Konsep kemuliaan tersebut sedemikian menonjol. Karena
itu, dalam pasal tersebut, terdapat 9 kali pengulangan kata “mulia”
(lihat 7-11, 18).
Mengapa
pelayanan itu mulia? Kita dapat menemukan beberapa alasan yang sangat
jelas. Pertama, karena sesungguhnya, ketika kita melayani, kita bukanlah
melayani manusia, tetapi melayani Allah yang sangat mulia (7). Ketika
diperhadapkan dengan kemuliaan Allah yang demikian, nabi Yesaya
menyadari ketidaklayakannya dan berseru: “Celakalah aku! Aku binasa!”
(Yes.6:3,5). Namun demikian, sungguh ajaib! Allah yang mulia inilah yang
mengerjakan pelayanan itu di dalam diri kita. Kedua, karena kabar baik
yang tertulis dalam loh-loh daging itu adalah mulia (2Kor.3:3). Injil
itulah yang disebut oleh rasul Paulus sebagai harta yang sangat indah
(4:7) yang mengandung rahasia Allah yang tersembunyi selama berabad-abad
(Ef.3: 5-10). Harta tersebut tidak dapat dibandingkan dengan harta
semahal apa pun di dunia ini. Ketiga, karena akibat dari pelayanan itu
juga mulia (8,9,10,11, 18). Kuasa Injil akan merubah orang berdosa dari
kematian kekal kepada kehidupan (7), dari perbudakan dosa kepada
pembenaran (9), dari kehinaan kepada kemuliaan yang semakin besar (18).
Sesungguhnya, berita seperti itulah yang diberitakan oleh
mahluk-mahluk kudus seperti malaikat, nabi dan rasul. Dan sekarang, di
zaman ini, berita tersebut dipercayakan kepada kita orang lemah!
Kenyataan tersebut, membuat kita mengerti dialog yang pernah terjadi
antara Robert Munger dengan seorang usahawan sukses. Dalam sebuah
penerbangan, Robert Munger menanyakan tentang perkerjaan usahawan
tersebut. Dengan bangga orang ini bercerita tentang kisah perusahaannya
yang sukses dan telah membuka cabang diberbagai tempat dan saat itu dia
sedang meresmikan cabang perusahaan yang ke 53! Setelah itu, usahawan
tersebut balik bertanya, “And you, what are you doing”? Selanjutnya,
terjadi dialog yang menarik untuk disimak. Robert Munger dengan sangat
bangga menjawab: “I am engaged in a greatest company in the world. The
greatest company, with a greatest future, a most important product, and
above all, the greatest Manager and President”! Usahawan tersebut
terheran-heran dan ingin mengetahui perusahaan apa yang dimaksud.
Siapakah Robert Munger? Dia adalah seorang pelayan Tuhan, penginjil yang
terlibat dalam penginjilan sedunia (Global Mission), yang memenangkan
jiwa-jiwa bagi kekekalan.
Apa
implikasi konkrit dari menghayati pelayanan sebagai sesuatu yang mulia?
Kesadaran akan kemuliaan pelayanan tersebut membuat para pelayan Tuhan
melakukannya dengan rasa syukur, bangga sebagaimana terlihat dalam diri
Robert Munger tersebut di atas. Ketika semakin banyak orang tidak
memiliki kebanggaan terhadap panggilan pelayanannya, maka kita perlu
merenungkan dan meneladani pernyataan Munger tsb.
Kemurahan Allah
Setelah menyatakan kemuliaan pelayanan tersebut, rasul Paulus
melanjutkan: “Karena itu, oleh kemurahan Allah kami telah menerima
pelayanan ini” (2Kor. 4:1). Sebagai catatan, dalam Alkitab terjemahan
bahasa Indonesia ,
kata “karena itu” tidak ditemukan (Yunani, dia touto; NIV Bible:
therefore). Jadi, pelayanan tersebut dihayati oleh rasul Paulus, bukan
karena dia layak untuk tugas dan panggilan tersebut, tapi semata-mata
karena Allah bermurah hati untuk melibatkannya. Penghayatan seperti ini
sangat menonjol dalam surat-surat rasul Paulus. Sebagaimana telah kita
sebut di atas, rasul Paulus menyatakan bahwa Injil itu merupakan rahasia
Allah yang sangat mulia (baca juga Ef.3: 5-10). Setelah itu, rasul
Paulus menegaskan, “Dari Injil itu, aku telah menjadi pelayannya menurut
pemberian kasih karunia Allah, yang dianugerahkan kepadaku... Kepadaku
yang paling hina dari di antara segala orang kudus telah dianugerahkan
kasih karunia ini untuk memberitakan... (Ef.3: 7-8).
Penghayatan bahwa pelayanan yang diterimanya
adalah semata-mata kemurahan Allah membuat rasul Paulus memberikan satu
pernyataan penting: “ Karena itu, kami tidak tawar hati” (2Kor.4:1b).
Sikap inilah yang pertama disebutkan oleh rasul Paulus sebagai sikap
yang harus dimiliki oleh setiap orang –termasuk kita- yang dipanggil
untuk melayani Dia.
Demikian
juga dengan pelayan-pelayan Tuhan yang sedang melayani. Kita mungkin
memiliki pengetahuan teologia yang cukup serta berbagai ketrampilan
dalam pelayanan. Tetapi bila hati tawar, maka pelayanan kita akan macet.
Sebagai akibatnya, akan ‘memacetkan’ orang lain juga. Karena itu, baik
sekali kalau kita sering memperhatikan dan merenungkan seruan Paulus,
“Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala
(mendidih, Yun: zew) dan layanilah Tuhan” (Ro.12: 11).